Latest Post
Loading...

Rabu, 03 Februari 2016

Mereka Down Syndrome, Bukan Idiot


RASA tidak nyaman dan jengah dialami oleh setiap orang tua atau keluarga yang memiliki anak  down syndrome (DS). Tak jarang, ujaran atau komentar bernada menghakimi, melecehkan, singgah di telinga mereka. “Ooooh, itu,  yang wajahnya serupa itu to? Bocah yang idiot itu, kan?”
Begitulah pasangan Esti  Widayati (58) dan Hari Krisyanto (60), warga Wedi, Klaten, ketika berkisah tentang salah satu anak mereka. Ketika ditemui Kamis (28/1/16), lalu mereka mengisahkan, sampai sekarang masih sering mendapat julukan dari sebagian masyarakat sebagai orang tua yang mempunyai anak idiot. Pasangan Esti-Hari memiliki anak gadis  down sindrome, bernama Harda Tri Martina (20). “Keberatan tentu saja, gerah dan terganggu,” ujar Esti Widayati yang lebih akrab dipanggil dengan nama Ida.
Hal senada diungkapkan  beberapa orang tua  anak down syndrome yang tergabung dalam POTADS (Persatuan  Orang tua dengan Anak Down  Syndrome), Yogyakarta. Mereka gerahannya  dengan  pelabelan macam itu, yang memberi stigma bahwa down syndrome sama  dengan  idiot.  “Meskipun dikatakan  dengan nada biasa-biasa saja namun tetap membuat perasaan  kami sebagai orang tua tidak nyaman.” Kalimat macam itu muncul dari salah satu orang tua anak down syndrome.

Idiot dan Down Syndrome

Idiot” artinya sama dengan “tolol” atau “bego” atau bisa dikatakan  “dungu”.  Sebutan tersebut memiliki  arti  bahwa orang tersebut tidak memiliki kemampuan apa-apa dalam hal apapun. Definisi idiot (www.kamusbesar.com/14683/idiot) adalah, taraf (tingkat) kecerdasan berpikir yang sangat rendah (IQ lebih kurang 25); daya pikir yang lemah sekali (nomina).
Sedangkan karakteristik  intelektual individu down sydnrome sebagian besar diidentifikasi berada pada kelompok mental retarded  moderate ( IQ, 40-50) yaitu mampu latih, namun ada juga sebagian masuk ke dalam klarifikasi Mild  (IQ, 55-70)  mampu didik. Tentunya ada juga yang berada dalam kelompok Severe (IQ, 25-40), yang betul-betul butuh bantuan karena mereka tidak mampu mengurus dirinya sendiri.
 Down syndrome terjadi karena adanya kelainan atau penyimpangan  kromosom 21. Dampak dari penyimpangan kromosom 21 adalah adanya keterbelakangan intelektual (Intellectual disability), yang erat kaitannya dengan kemampuan akademik.  Sementara kemampuan akademik bukanlah satu-satunya kecerdasan yang dimiliki oleh manusia.
Down syndrome, dapat mencapai optimalisasi dalam unsur-unsur kecerdasan tertentu. Tidak hanya berpaku pada kecerdasan intelektual yang hanya diukur dengan menggunakan beberapa tes inteligensi (IQ). Atau  hanya sekedar melihat prestasi yang ditampilkan seorang peserta didik melalui ulangan atau ujian di sekolah. Melainkan, kecerdasan juga menggambarkan kemampuan peserta didik pada bidang seni, spasial, olah-raga, berkomunikasi, dan cinta akan lingkungan.
Kemampuan yang dimiliki, didukung dengan stimulasi, optimalisasi  oleh keluarga maupun lingkungan, sebagian down syndrome akan memiliki kemampuan (kecerdasan). Minimal mereka memiliki kemampuan menulis, membaca dan berhitung (kecerdasan  dasar akademik). Melukis, yang  termasuk  dalam kecerdasan seni. Berenang, main golf, atletik, merupakan kecerdasan kinestetik. Memainkan alat musik: piano, drum, jimbe, biola, ini merupakan kecerdasan musik.  Bersosialiasasi menjalin hubungan dan memiliki keterampilan komunikasi di dalam masyarakat, merupakan kecerdasan sosial.
Perlu digelorakan pemahaman bahwa  setiap anak terlahir unik, mereka memiliki kelebihan dan kekurangan, begitu juga dalam hal kecerdasan. Sekalipun itu anak-anak Down syndrome,  tidak menutup kemungkinan mereka memiliki unsur-unsur kecerdasan di luar akademik mereka apabila dikembangkan lebih jauh dapat mencapai optimalisasi sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya. Dengan memahami kemampuan dan memberikan stimulasi sesuai dengan kebutuhannya, akan  megoptimalkan  perkembangan dan mengantarkan anak down syndrome meraih prestasinya. Mereka dapat berkembang sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya. Memahami dan menghargai keberadaan anak-anak down syndrome  di dalam keluarga maupun di masyarakat, kerabat, handai taulan, tetangga dekat maupun jauh, guru–guru di sekolah dan teman-temannya.  Mereka memiliki kebutuhan yang sama seperti anak-anak lain pada umumnya. Butuh rasa nyaman, penerimaan yang tulus, dihargai, dipahami, dicintai,  dimaknai dan diberi kesempatan. Itu yang lebih utama dan dapat membuat mereka bahagia juga dapat menjadi media sebagai  jalan menuju masyarakat inklusi.
Sudah saatnya label atau stigma “idiot” terhadap  anak dengan down syndrome dihapus. Biarkan mereka memiliki ruang yang lebih terbuka dan  leluasa dalam mengembangkan unsur-unsur kecerdasan  yang  dimiliki,  terutama di luar unsur kecerdasan akademik.
Memahami bahwa setiap anak terlahir  dengan karakteristiknya masing-masing, dengan  kecerdasan yang majemuk. Bahwa setiap anak  adalah unik dan memiliki prestasi.  Sehingga budaya  yang telah berkembang di masyarakat, bahwa  siswa yang gagal menunjukkan prestasi akademiknya  adalah  anak yang bodoh, atau low esteem, selayaknya segera ditinggalkan, diganti denganc ara berpikir positif. Dengan cara berpikir positif, akan memberikan kesempatan pada anak dan dengan demikian kemampuan mereka yang sebenarnya tergali.  (sri hartaning)

0 komentar:

Posting Komentar