Latest Post
Loading...

Selasa, 30 Agustus 2016

Puncak Eksplorasi Titik “Perspektif”

Puncak Eksplorasi Titik “Perspektif”
Catatan Pameran di Bentara Budaya Yogyakarta 2 - 8 Agustus 2016


SELASA 2 Agustus 2016 sore hari. Kesibukan terjadi di pelataran Bentara Budaya Yogyakarta, Jalan Suroto 2, Kotabaru.  Riuh jalanan tak membuat kesibukan sekitar pukul 16.00 WIB, itu terganggu. Tenda terpasang, sedikitnya 150 kursi ditata dan panggung bersolek. Begitulah. Sore itu, dilaksanakan pembukaan pameran Kelompok Perspektif Yogyakarta. Agak tidak lazim, karena pembukaan pameran di gedung itu biasa berlangsung malam hari.
Liputan media
Tentu bukan tanpa alasan. Acara seremoni berlangsung sore hari, karena sebagian besar seniman Perspektif adalah anak-anak. Ada tujuh anak difabel tergabung dalam Perspektif. Terdiri empat lelaki dan tiga perempuan, usia mereka terentang mulai dari tujuh tahun hingga 21 tahun. Ada pelajar SD, ada yang tidak bersekolah dan ada pula yang sudah mahasiswa. Jenis difabilitas merena juga beragam. Ada difabel slow learner, tuli, difabel daksa, double handicap (penyandang dua jenis difabilitas) dan ada pula penyandang mental retarded.
Inilah pameran terbesar yang pernah diselenggarakan Perspektif. Meski kelompok itu baru “seumur jagung”, didirikan Oktober 2014, namun pencapaian atas hasil kerja keras mereka selama ini, kiranya layak dicatat. Setidaknya jika dilihat dari keberhasilan kelompok ini dalam upaya membangun mental difabel melalui karya seni rupa. Perspektif tidak melihat anak penyandang difabel itu sebagai obyek, namun justru sebagai subyek, bahkan bersama dengan kedua orangtua mereka.

Tersebutlah tujuh anak anggota Perspektif  yang menggelar pameran akbar bertajuk Eksplorasi Titik – Membongkar Alam Pikiran dengan Seni Rupa. Ini adalah pameran yang keempat bagi Perspektif.  Pameran perdana, sebagai presentasi karya, digelar Februari 2015. Pameran kedua Juni 2015, keduanya di Yogyakarta. Sedangkan pameran ketiga, mengikuti Festival Oz Asia di Adelaide, Australia pada September-Oktober 2015. Dalam festival berskala interasional, itu Perspektif merupakan satu-satunya kelompok difabel dari Indonesia yang menggelar pameran di Oz Asia Festival Australia.
Tujuh anak anggota Perspektif adalah Angger Gagat Raino (7), Muhamad Haidar Arifin (8), Suryo Putro Legowo (9), Hepi Nafisa Mukholifah (9), Maydea Nur Khasanah (13), Okta Mahendra (19) dan Laksmayshita Larasati (21).
Dalam pameran yang digelar 2 hingga 8 Agustus 2016 ini, Perspektif berkolaborasi dengan Tutti Arts, sebuah lembaga yang memfasilitasi para difabel yang bergerak di bidang seni, berkedudukan di Adelaide, Australia. Tutti Arts menyertakan sembilan seniman yang memamerkan karya lukisan dalam pameran di BBY.  Kelompok Perspektif  juga menjalin kolaborasi dengan Tutti Arts kala gelar pameran di Adelaide, Australia 2015.

Dukungan Sri Sultan HB X
                Dalam sambutan pada pembukaan pameran, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, pihaknya sangat mendukung pameran yang menampilkan karya-karya penyandang difabel seperti ini. Melalui pameran kali ini, demikian Sri Sultan HB X, yang dibacakan Wakil Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Sigit Rahardja, karya senimannya dapat membantu mereka untuk mendapatkan perhatian dan hak yang sepatutnya didapatkan. “Pameran merupakan jembatan strategis yang akan enghubungkan para seniman difabel pada pengakuan atas kemampuan profesional mereka, termasuk pengakuan bahwa mereka juga pekerja seni dan pekerja industri kreatif, tutu Gubernur DIY.
Selaras dengan itu, Moelyono selaku konseptor dan fasilitator Perspektif mengungkapkan, setiap anak adalah seniman, artinya setiap anak menguasai media seni. Dari proses pembelajaran yang pernah dilakukan adalah dengan mendudukkan bahwa setiap anak adalah subyek dan fasilitator juga memposisikan diri sebagai sesama subyek.  Proses penguasaan media seni rupa, merupakan proses dialog sesama subyek yang melahirkan pembelajaran bersama, muncul dan menguatnya rasa percaya diri setiap anak, bahwa setiap anak  merasa yakin dengan mudah, gampang, bisa menggambar. Tahapan menggambar yang membuat setiap anak merasa percaya diri dengan mudah bisa menguasainya, adalah pada tahap awal menggambar, yaitu Titik.

Tidak dibatasi fisik  
Ketua Perspektif, Sri Hartaning Sih, pada bagian lain mengatakan, berkarya seni adalah hak setiap orang, tidak dibatasi oleh keadaan fisik. Demikian pula bagi mereka yang terlahir sebagai difabel.  Hanya kesempatan dan aksesibilitas yang dibutuhkan oleh setiap orang yang terlahir difabel, sehingga mereka berdaya, setara dan mampu melakukan apa saja. Kelompok Perspektif percaya, setiap orang mampu mengekspresikan diri melalui karya seni.  Tak ada istilah berbakat atau tidak berbakat, pintar atau bodoh, bagus atau jelek, mampu atau tidak mampu.  Setiap orang  berhak atas dirinya untuk menjadi apa saja, menjadi siapa saja.
Bagi penyandang difabilitas, aksesibilitas sesuai dengan kebutuhan, kesempatan tanpa syarat akan mendukung kemandirian dan kepercayaan diri. Kemandirian dan kepercayaan diri, akan menepis keberbedaan untuk kemudian melahirkan rasa nyaman.
Sri Hartaning Sih mengatakan, paham mengenai “kenormalan” telah melekat erat dalam masyarakat. Semua itu terbentuk karena ketidaksadaran kolekfif masyarakat.  Dalam pemahaman ini, mereka yang normal adalah orang yang memiliki kesempurnaan organ tubuh yang berfungsi dengan baik. Pemikiran ini telah telanjur terkonstruksi. Maka, kata Sri Hartaning Sih, kelompok Perspektif mencoba membongkar alam pikiran di atas melalui kegiatan berseni rupa, dengan keyakinan penuh bahwa seni rupa merupakan media untuk bersama belajar saling peduli, saling menghargai dengan berproses bersama eksperimentasi, eksplorasi, kreasi, dan apresiasi.
Setiap orang tua harus memiliki dukungan terhadap anak-anaknya, terlebih pada anak yang terlahir difabel. Dukungan dan keterlibatan orang tua serta keluarga sangat berpengaruh terhadap perkembangan difabel. Apresiasi juga harus diberikan terhadap sekecil apapun yang dilakukan difabel.  Pameran kali ini adalah bukti akan hal itu semua.
Titik puncak
Laksmaysyita dan karya instalasi titi
                Tak kurang dari lima puluh karya dari berbagai media dan material dipamerkan di BBY. Semuanya merupakan karya eksplorasi Titik. Ada kancing baju di kanvas, di kertas, atau di kardus. Ada biji kacang hijau, kertas berwarna, atau Titik dengan aneka warna cat, dan ada pula deretan Titik yang dibuat dari tumbuh-tumbuhan gulma sawah. Semua hadir dalam bingkai desain menawan. Melahirkan nuansa ritmis dalam harmoni yang menggugah jiwa.
Ada pula karya instalasi Titik pada bidang seluas tiga puluh meter persegi. Titik yang dibuat menggunakan guntingan kardus alam bentuk ulatan (titik ukuran besar) yang dicat senada, warna putih, itu dipilih karena si pencipta, Laksmayshita, adalah penyandang tuli (deaf). Ini merupakan cara sang seniman berkomunikasi dengan orang lain yang diwujudkan melalui karya seni rupa. Salah satu pintu masuk menguasai media seni adalah dengan penguatan rasa percaya diri. Sedangkan penguatan rasa percaya diri setiap anak untuk dapat menguasai media seni rupa adalah dengan tahap penguasaan elemen seni rupa yang paling dasar, yaitu : Titik.  
                Pameran bertema Eksplorasi Titik, ini menurut Sri Hartaning Sih dan Moelyono, merupakan puncak karya anggota Perspektif setelah selama dua tahun berproses menggali kemampuan, membangun mental dan menemukan cara mengekspresikan diri melalui seni rupa.  Untuk masa mendatang, setelah Titik, akan bergerang mengeksplorasi Garis.
Membangun Mental
Adakah pengaruh bagi seorang difabel dengan berkarya seni?  Kemandirian mental yang terbangun selama aktif mengikuti kegiatan bersama Perspektif, senyatanya telah terbukti. Dalam kehidupan sehari-hari di rumah maupun di sekolah, mereka kini lebih mampu mengelola emosi, mantap mengaktualisasikan diri, bertanggung jawab dalam berekspresi.
Bagi Angger, misalnya. Dilahirkan tanpa mempunyai kemampuan mendengar, semula lebih suka bermain game dengan gawainya. Setelah aktif dalam Perspektif,  Angger mampu menunjukkan kepercayaan dirinya. Cekatan jika sedang berekspresi menggunakan benda apapun untuk “menitik”. Di kanvas, di kertas, di tripleks, dengan batu kerikil, kayu, kertas atau biji-bijian. Interaksi bersama kedua orangtuanya dalam mengolah karya, telah membuahkan hasil antara lain ketekunan, ketelitian dan kemandirian.  
Demikian pula Haidar. Sebagai penyandang difabilitas daksa, hanya dengan satu tangan dan satu kaki di bagian kiri, tidak menghalanginya untuk menghasilkan karya terbaik.  Dalam bimbingan sang Ibunda, Haidar aktif mengikuti seluruh proses sejak awal bergabung dalam Keluarga Perspektif.  Karyanya hadir ekspresif dominan warna hitam.
Akan halnya Suryo, awalnya dikenal sebagai anak pemalu. Tidak mau berinteraksi dengan orang lain. Namun, sejak bergabung dalam Perspektif, sebagai difabel tuli seolah dia telah menemukan dirinya. Setiap kali bertemu dengan sesama anggota Perspektif, selalu menunjukkan perkembangan kepribadian positif, tidak lagi canggung, tidak malu dan berani berkomunikasi dengan siapapun. Titik  telah menumbuhkan percaya diri, sehingga Suryo kini bermental tangguh.
Adapun bagi Okta, penyandang mental retardasi, memang jarang berbicara dan lebih banyak diam. Kini mampu berkonsentrasi dan meluapkan ekspresinya, dengan membuat karya Titik. Ia berkomunikasi dengan orang lain melalui karyanya.
Sedangkan Hepi, penyandang difabel tuli, yang aslinya memang murah senyum dan pandai bergaul, berkarya seni rupa makin menguatkan dirinya untuk selalu bersemangat dan tak pernah canggung dalam bereksperimen ketika membuat karya dengan media apapun.  
Sedikit berbeda dengan Maydea, penyandang difabel slow learner itu semula lebih banyak di dalam rumah dan  jarang bergaul. Kini, sulung dari dua bersaudara itu tak lagi malu untuk bertemu dengan siapa pun.  Dea mengekspresikan jiwanya membuat karya seni rupadan itu membuat mentalnya terbangun.
Bagi Laksmayshita, satu-satunya anggota Perspektif yang kini sudah menjadi mahasiswa di perguruan tinggi pendidikan seni rupa, keinginannya untuk selalu ingin memberi inspirasi bagi para penyandang difabel terus membuncah. Dengan kemampuannya berkarya seni rupa. Ia terus mengeksplorasi diri mengasah kepekaan jiwa seninya, bahkan tak jarang berekspresi dengan olah tubuh, menari dalam senyap.
Tak berlebihan memang, jika dikatakan ini adalah pameran Perspektif  terbesar yang selama ini digelar. Betapa tidak. Dengan persiapan yang membutuhkan waktu sekitar satu tahun, penyelenggaraan ditata. Display karya sederhana tapi menawan. Dukungan berbagai organisasi difabel di DIY juga berdatangan. Sedikitnya 150 orang hadir pada pembukaan pameran. Sampai pameran ditutup, 8 Agustus 2016 malam, tamu yang datang menyaksikan pameran dan tercatat dalam buku tamu, sedikitnya 300 orang. Dari sebuah organisasi yang membina anak-anak dengan cerebral palsy (CP), bahkan membawa 35 anak dan orangtua mereka, minta diberi workshop secara khusus.
Media massa lokal maupun nasional mengapresiasi pameran ini. Media cetak, media elektronik, media on line. Harian Kompas, Tribun Jogja, Radar Jogja, Kompas TV, RCTI, Kresna TV, Radio Sindo FM, untuk menyebut beberapa. Juga beberapa ulasan di blog terbuka, Kompasiana. Puncak eksplorasi Titik Perspektif senyatanya memang telah terlaksana. (agoes widhartono)



0 komentar:

Posting Komentar