Latest Post
Loading...

Senin, 31 Oktober 2016

Percaya Diri Mengantar Ayu Meraih Mimpi


HARI itu, Rabu medio September 2016, matahari masih bersinar terik. Waktu menunjukkan pukul 15.15 WIB. Di dalam ruang 120, Jurusan Sains, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta, berdiri seorang perempuan mini people, dengan tinggi tubuh tidak sampai satu meter. Ia menghadap ke arah beberapa mahasiswa. Sedang memberi materi kuliah rupanya. Kali itu, ia sedang memaparkan Hukum-hukum Dasar Stoikiometri. Sebuah ilmu yang mempelajari dan menghitung hubungan kuantitatif reaktan dan produk dalam reaksi kimia (persamaan kimia). 
Benar, perempuan itu adalah seorang dosen. Ia bernama Ayu Fitri Amalia (31), dosen ilmu kimia. Tidak terlihat ada yang aneh dalam kelas itu. Seluruh mahasiswa yang hadir, khusyuk dan hormat mengikuti materi demi materi yang dijelaskan oleh sang dosen melalui power point yang disiapkannya. Sesekali Ayu menjelaskan rumus-rumus kimia dengan menulis di bagian bawah papan white board. Begitulah, Ayu Fitri memang hanya mampu meraih dan menggunakan papan white board pada  bagian bawah, tersebab kondisi tubuhnya yang pendek adanya.

“Tidak ada kendala bagi saya di kelas, tidak ada yang melihat fisik saya yang pendek ini, jauh lebih pendek dari semua mahasiswa saya,” ujar perempuan kelahiran Palembang 2 Juli 1985 itu.
Ayu tergolong dosen baru di UST. Belum genap satu tahun menjadi dosen DPK (Dosen Dipekerjakan) di kampus kebangsaan dan kerakyatan tersebut. Terpancar dari raut mukanya keceriaan saat berbagi ilmu. Gestur tubuhnya jelas terbaca bahwa kepercayaan diri tertanam kuat pada dirinya.
Menjaga mimpi
Menjadi guru memang sudah menjadi cita-citanya. Terpatri sejak dia lulus SMA dan menyukai pelajaran sains, materi fisika. Terlebih setelah bertemu dengan guru bimbingan belajar (Bimbel), yang membuatnya tidak hanya sekadar bisa fisika tetapi paham tentang fisika. Sejak itu Ayu menjaga mimpinya, bertekad dapat meraih cita-cita dengan percaya diri.
Ayu Fitri Amalia, perempuan bertubuh pendek (mini people) itu adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Sejak Taman Kanak-kanak (TK) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), orang tuanya menyekolahkan Ayu pada sekolah umum di Palembang, Sumatera Selatan. Masa kuliahnya dia jalani di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Dia menyelesaikan studi strata satu (S1) dan strata dua (S2)di universitas yang terkenal dengan julukan Kampus Biru itu.
Ayu dilahirkan di tengah keluarga yang berdisiplin tinggi, dan menerapkan pendidikan konservatif. Sebuah pendidikan yang mengharuskan, tanpa memberikan pilihan. “Kami semua harus pintar, boleh bermain tapi hanya sebentar. Tidak diizinkan bermain di luar rumah, hanya harus sekolah, mengikuti pelajaran tambahan, menonton televisi sebentar, lalu belajar lagi dan tidur. Esok harinya, sekolah lagi, tuturnya. Demikian rutinitas yang dilalui Ayu semasa sekolah di Palembang. Namun, semua itu tak membuatnya menjadi seorang pemberontak atau bahkan penakut. Dia hanya menurut. Ia berkeyakinan, bahwa hal itu tentu yang terbaik bagi dirinya. Ayu selalu berpikir positif, bahwa cara mendidik orang tuanya yang sedemikian rupa yang telah mengantarkan dirinya menjadi seorang dengan pribadi yang kuat, tidak inferior, dan selalu visoner.
Ketika berusia 26 tahun, Ayu telah menyelesaikan pendidikan S2, Studi Fisika, di UGM. Dia tidak pernah merasa rendah diri. Tubuhnya yang  pendek tidak menghalanginya menjadi siapapun. Selama kuliah, Ayu mengajar privat pada siswa jenjang SD hingga SMA. Menurut dia, semua orang di Yogja tidak melihatnya berbeda. “Mereka memandang saya tidak pada fisik, tapi pada apa yang saya bisa lakukan,” imbuhnya
Belajar memaafkan
Pada bagian lain ia berkisah, peran orang tuanya, terlebih sang ibu, sangat berpengaruh dan membentuk pribadinya. Dia anak pertama dari tiga bersaudara. Kedua orangtuanya tidak pernah memperlakukan Ayu berbeda dengan kedua adiknya. “Saya hanya harus menurut, tidak pernah bertanya,” kenang Ayu sambil menahan air mata. “Mungkin ibu ingin saya harus punya kelebihan, di balik kekurangan yang saya miliki,” tutur Ayu. Ia tak mampu menahan air matanya. Dengan tisu Ia dia sekacepat bulir air mata yang hendak menyentuh pipinya. Ia seakan hendak menggugat, bertanya, namun sekaligus bangga.
Ia menambahkan, “Ibu memang tidak pernah malu memiliki anak seperti saya, dengan tubuh yang pendek, tidak sampai satu meter ini. Andai saya tidak dididik dengan cara konservatif, barangkali saya tidak menjadi seperti sekarang ini,” tuturnya. Lagi-lagi Ayu tak kuasa membendung air mata.
Sejak duduk di bangku Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Sekolah Dasar (SD), tidak pernah dia mendapatkan perlakuan diskriminatif, baik dari guru maupun teman-temannya. Dia diikutkan antar jemput mobil sekolah karena kesibukan orang tuanya. Namun perlakuan bully pernah dia dapatkan dari sebagian kecil kawannya. Namun Ayu kecil tidak pernah minder dengan fisiknya. “Ibu tidak lantas memarahi teman-teman ketika mendapati anaknya dicemooh (bully). Dari situ saya diam-diam belajar memaafkan,” ujar Ayu.
Konservatif
Sejak kecil Ayu dan adik-adiknya biasa dengan disiplin. Pulang sekolah, siang hari, makan siang, selanjutnya diwajibkan untuk tidur siang. Sore diikutkan mengaji ke masjid, waktu bermain di rumah dengan teman-teman sebaya tidak banyak. Malamnya diwajibkan menyelesaikan tugas sekolah dan belajar.
Mimi, sapaan untuk ibu tercint,  sangat berperan dalam proses pembelajaran di rumah. ”Saya dan adik-adik bisa membaca dan berhitung karena mimi yang sangat intens mengajari di rumah, di sekolah kami tinggal memperlancar.”
Selama di SD Ayu maupun adik-adiknya selalu menduduki ranking sepuluh besar. Di SMP selalu masuk dalam kelompok kelas unggulan. Ayu yakini itu, karena pemikiran orang tua yang konservatif tapi positif, yang menuntut anak-anaknya untuk berprestasi di bidang akademik.
“Bahwa setiap anak itu spesial, punya bakat masing-masing, belum terpikirkan saat itu oleh orang tua saya. Tapi, apapun saya bangga dengan cara mereka mendidik kami, karenanya kami berhasil dan tumbuh percaya diri yang kuat,” ujarnya.
Selepas SMP, dia bersekolah SMA negeri yang letaknya agak jauh dari rumahnya. Dia mulai dilatih mandiri, menggunakan kendaraan umum untuk pergi dan pulang sekolah. “Terkadang saya mendapatkan angkutan yang akses untuk fisik saya yang kecil, sopir mau menunggu sampai saya benar-benar masuk ke dalam mobil, baru kemudian jalan. Namun tidak jarang saya juga mendapatkan angkutan yang sopirnya tidak sabar.” Dia berhasil berusaha menyesuaikan diri, bergerak cepat untuk dapat meraih  bangku dan pegangan dalam mobil angkutan (angkot). Di SMA dia berada di jurusan IPA, sebagaimana tuntutan orang tua. Kemudian diikutkan kursus bahasa Inggris, dengan angkot saya pulang pergi ke tempat kursus, yang jaraknya lebih jauh  lagi dari tempat tinggal kami.
Berjuang di UST Yogyakarta
Tahun 2014 Ayu lulus tes sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Sebelumnya dia direncanakan oleh Kopertis V untuk ditempatkan di sebuah universitas swasta. Dengan alasan konsentrasi keilmuan saya saat itu belum dibutuhkan, maka ia tidak bisa mengajar di sana.  “Akhirnya saya ditempatkan di UST Yogyakarta, sebuah kampus yang tanpa syarat menerima dan memberi kesempatan saya untuk mendedikasikan ilmu. Saya merasa bersyukur dan berterima kasih pada UST atas kesempatan yang saya dapatkan. (sri hartaning sih)

0 komentar:

Posting Komentar