Jumat pagi (28/9/2018) kegiatan ibadat di Gereja Santo Antonius Padua Kotabaru Yogyakarta, dilaksanakan tidak seperti biasanya. Ada juru bahasa isyarat, juru bisik, di antaranya ketidakbiasaan itu. Ketidakbiasaan lainnya, lima orang difabel bertugas sebagai putra altar yang membantu Imam saat mengantar persembahan, menuangkan air putih dan anggur, serta membawa air cuci tangan Imam. Putra altar ini menjadi panutan umat dalam melakukan ritual ibadat ekaristi.
Kali itu adalah moment dilaksanakannya perayaan ekaristi bagi umat berkebutuhan khusus (difabel) yang pertama kalinya di Gereja Kotabaru. Sebanyak 320 difabel memadati aula gereja untuk mengikuti ritual demi ritual peribadatan. Ada tuli, difabel netra, Down Syndrome, pengguna kursi roda, difabel intelektual, autis, cerebral palsy, dengan pendampingan orangtua maupun keluarga.
Mereka adalah para siswa difabel pemeluk agama Kristen dan Katolik yang berasal dari berbagai Sekolah Luar Biasa (SLB) di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Melalui koordinasi Widiastuti pengajar SLB Negeri 1 Bantul, ekaristi khusus itu mendapatkan izin dan dukungan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) DIY juga Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag) DIY.
Bertindak sebagai Imam (pemimpin) pada ekaristi khusus itu, Romo Macarius Maharsono Probo, SJ yang biasa dipanggil dengan nama Romo Mahar.
Harus dimuliakan
Pada khutbahnya Imam mengajak kepada seluruh jemaat, agar tidak menjadikan keterbatasan sebagai hambatan, dan menjadi kesedihan. “Keterbatasan yang ada jangan dijadikan hambatan, jangan menjadi kesedihan. Karena justru akan menjadi pintu untuk menuju kemuliaan Allah. Mari kita semua tetap bersemangat, berbagi kasih, menjalani kehidupan tanpa kesedihan,” himbaunya.
Bukan belas kasih ketika Gereja Kotabaru memberikan kesempatan ekaristi khusus kali itu. Namun lebih pada memuliakan semua umat Allah. “Manusia itu citra Allah Sang Pencipta. Jadi menjadi apa pun, terlahir dari siapa pun, adalah bagian dari rencana Allah. Dalam keterbatasan seperti apapun, apakah itu tuli, buta, tidak bisa berjalan, dan lain sebagainya, mereka semua harus dimuliakan.” Romo Mahar menyampaikan.
Memberikan kesempatan beribadat kepada umat berkebutuhan khusus, bukan sesuatu yang luar biasa. Melainkan kegiatan kemanusiaan yang harus dibiasakan. Dengan penyelenggaraan itu, Imam Gereja Kotabaru itu meyakini akan semakin banyak keluarga yang tersapa dan ikut bersama-sama dalam perayaan misa.
Selain memberikan aksesibilitas non fisik bagi tuli dan buta, Gereja Kotabaru juga telah membenahi infrastruktur atau aksesibilitas fisik gereja. Hal itu terlihat dengan adanya jalan landai (ramp) dan kamar mandi aksesibel.
Kurang kesadaran
Pada kesempatan itu Romo Mahar juga memaparkan pandangannya terkait keberadaan hukum di Indonesia. Menurut dia selama ini hukum hanya sekedar diadakan, namun tidak ditegakkan. Ada dua sisi yang berkontribusi sehingga hukum tidak tegak, kata dia. Yaitu, rendahnya kesadaran negara dalam penegakan hukum, serta buruknya kesadaran warga negara mematuhi dan menghormati hukum yang berlaku.
“Secara hukum memang undang-undang tertulis harus ada. Tapi yang paling penting adalah undang-undang kemanusiaan. Bagaimana menghormati hukum, menghormati orang lain, dan menghormati diri sendiri. Ini urgensi utama yang harus dimiliki tiap-tiap manusia,” ujar Romo Mahar.
Dia mencontohkan perilaku banyak orang terhadap trotoar di Kota Yogyakarta. Trotoar di depan gereja dicontohkannya”. Apa yang terjadi dengan trotoar di depan gereja ini? Trotoar yang seharusnya menjadi tempat nyaman dan aman bagi pejalan kaki, termasuk yang buta, pengguna kursi roda, anak-anak, lansia, dan semua, malah digunakan untuk berjualan. Apakah pemerintah ambil tindakan atas sikap masyarakat yang menganeksasi trotoar?” sitirnya.
Agenda Desember
Adapun Koordinator penyelenggara, Widiastuti menyampaikan latar belakang pelaksanaan misa atau ekaristi khusus kali itu. “Beribadat adalah hak setiap orang. Tetapi selama ini bagi difabel, tidak mudah mendapatkan hak mereka beribadah. Oleh sebab itulah ekaristi khusus ini diagendakan,” terangnya.
Selanjutnya dia menginformasikan bahwa kegiatan ibadat khusus tidak akan berhenti kali itu saja. Agenda lanjut adalah rencana pelaksanaan sakramen inisiasi baptis dan ekaristi pertama bagi difabel yang belum dibaptis. Sakramen dijadwalkan akan dilaksanakan Rabu, 12 Desember 2018, dipimpin langsung Keuskupan Agung Semarang.
Solider juga sempat berbincang dengan Sri Nataliwati, orangtua dari Wahyuni Dwi Kurniawati difabel dengan Cerebral Palsy (CP) siswa SLB PGRI Nanggulan Kulon Progo.
Apresiasi dan sikap positif diberikannya atas penyelenggaraan ibadat ekaristi. Menurut dia, pelaksanaan ekaristi khusus itu cukup aksesibel bagi semua. Dia juga merasa lega, pada akhirnya di usia 19 tahun anaknya, untuk pertama kalinya bisa memasuki gereja dan mengikuti Ekaristi.
Harapannya kegiatan peribadatan bagi difabel semakin terbuka pada tiap-tiap gereja. Sehingga para difabel dan keluarganya tidak harus jauh-jauh dari tempat tinggalnya untuk dapat beribadat. Jika selama ini dia tidak mengajak serta anak perempuannya ke gereja, bukan karena tidak mau. Melainkan, dia tidak menemukan gereja yang dapat diakses kursi roda. [sri hartaning sih].
0 komentar:
Posting Komentar