Pagi itu pertengahan bulan Oktober 2018, suasana Galery Sangkring Art Space tidak begitu panas. Meski galeri yang berada di Sonosewu, Kasihan, Bantul, Yogyakarta dipadati oleh tujuh puluhan pengunjung. Sebuah acara sarasehan art therapy digelar Universitas Sarjanawijata Tamansiswa (UST) Yogyakarta.
“Art Therapy merupakan salah satu teknik psikoterapi yang mulai banyak digunakan untuk membantu siapapun mengatasi dan menghadapi masalah psikologis. Sebuah perpaduan dua ilmu, yakni ilmu psikologi dan seni rupa,” Ujar Rusnoto Susanto, Kepala Program Studi Seni Rupa UST Yogyakarta, Sabtu (13/10/2018).
Tampak salah seorang perempuan dengan jemarinya yang lincah menggoreskan kuasnya pada kanvas berukuran 70 x 90 cm. Dia mencipta karya dengan warna hitam mendominasi obyek lukisannya. Sedikit warna pink dan pastel dipilih untuk mewarnai obyek lain pada hasil karya lukisnya.
Perempuan itu bernama Anastasia Wella (35), yang disapa dengan Wella. Fokus menuangkan setiap imaginasinya. Bukan sekedar menyalurkan hobi. Namun bagi Wella, melukis menjadi media menumpahkan segala emosinya. Baik emosi bahagia, sedih, marah, takut, cemas, dan lain sebagainya. Melukis menjadi media terapi (art therapi) mental, adalah yang dilakukan Wella.
Mengapa? Pada 2013 oleh dokter kesehatan jiwa (psikiater) yang merawatnya, Wella dinyatakan sebagai seorang skizofrenia. Sosok perempuan pendiam itu pernah melewati masa-masa sulit. Dia hidup di bawah tekanan, tuntutan dan ancaman dari orang yang seharusnya melindungi, menyayangi, memahaminya.
Tidak diberikan kebebasan bermain dengan teman sebaya dialaminya. Dipukul dan dihajar oleh orang yang melahirkannya, jika pulang ke rumah dengan nilai ujian sekolah jelek. Kehilangan rasa aman dan nyaman, cemas, ketakutan, kehilangan kesempatan memberikan penjelasan, itu yang terjadi dan dialami.
Menentukan pilihan
Tiga puluhan tahun hidup di bawah tekanan, pada akhirnya Wella menyadari bahwa dirinya harus memperoleh terapi. Adeline Art Therapy Center sebuah pusat terapi bagi orang dengan skizofrenia dan bipholar adalah tempat yang dipilihnya. Kurang lebih selama lima tahun Wella mendapatkan terapi menggunakan media seni rupa atau art therapy.
Menurut penjelasan Yohanita, Koordinator Adeline Art Therapy Center, Wella adalah seorang penyintas atau orang yang selamat (surviver) dari skizofrenia. Sebelumnya Wella merupakan seorang skizofrenia dengan sepuluh kepribadian. Setelah lima tahun menjalani art therapy, dinyatakan sembuh.
“Sekarang tinggal tersisa lima kepribadian pada Wella, dari yang pada awalnya dengan sepuluh kepribadian. Sebuah alasan mengapa Wella dinyatakan sembuh,” terang Yohanita.
Puluhan karya lukis telah dihasilkan Wella dari hasil art terapi tersebut. Beberapa karya dipasang dan dipamerkan pada agenda sarasehan yang berlangsung sekitar empat jam itu. Meski terus melakukan art terapi, Wella juga tidak berhenti mengkonsumsi obat yang diresepkan oleh dokter ahli jiwa.
Wella sendiri mengaku ingin sekali mengkampanyekan bahwa orang dengan skizofrenia tidak beda dengan orang pada umumnya. Mereka sesungguhnya memiliki kemampuan jika kesempatan itu ada dan diberikan.
Hapuskan stigma
Kesempatan yang dimaksudkan oleh Wella bukan hanya dalam berkegiatan, atau mengoptimalkan potensi yang dimiliki. Melainkan juga kesempatan mendapatkan dukungan dan pemahaman dari keluarga, ahli kesehatan jiwa baik konsultasi dan pengobatan. Dia juga berharap agar stigma tentang orang dengan skizofrenia atau gangguan jiwa lainnya dihentikan.
“Kami memang mengalami gangguan psikis yang berpengaruh pada kemampuan berpikir, merasakan, dan berperilaku. Bukan berarti kami ini layak untuk mendapatkan stigma. Beri kami dukungan dan kesempatan kami untuk mendapatkan terapi, agar kami lebih baik dan dapat beraktivitas selayaknya orang lain.” Ujar Wella pagi itu.
Skizofrenia dan penyebabnya
Skizofrenia merupakan gangguan mental yang terjadi dalam jangka panjang. Dapat menyebabkan penderita mengalami halusinasi, delusi atau waham, kekacauan berpikir, dan perubahan perilaku. Sebuah gejala psikologis atau sebuah kondisi yang menyebabkan penderita skizofrenia mengalami kesulitan membedakan kenyataan dengan pikirannya sendiri.
Menurut Yohanita secara pasti belum diketahui apa yang menyebabkan skizofrenia. Namun demikian, skizofrenia dikaitkan dengan sejumlah faktor risiko. Antara lain faktor genetik, faktor kimia otak, bisa juga akibat komplikasi semasa kehamilan dan persalinan.
Pada faktor genetik, dijelaskannya bahwa seseorang dari keluarga penderita skizofrenia, 10% akan lebih berisiko mengalami kondisi yang sama. Risiko akan menjadi 40% lebih besar bila kedua orang tua sama-sama menderita skizofrenia. Pada orang yang memiliki saudara kembar dengan skizofrenia, risiko meningkat hingga 50%.
Dan berbagai kondisi yang (kekurangan nutrisi, terpapar racun dan virus, diabetes, serta perdarahan) yang terjadi pada masa kehamilan, dapat beresiko menyebabkan skizofrenia pada anak yang dilahirkan.
Serta komplikasi saat persalinan sebagai contoh kekurangan oksigen saat dilahirkan (asfiksia), berat badan bayi rendah, dan lahir prematur), juga berisiko menimbulkan skizofrenia pada anak.
Selain sejumlah faktor risiko, kata Yohanita, ada pula yang disebut faktor pemicu skizofrenia. Pada orang dengan faktor-faktor resiko yang dipaparkan di atas, stres merupakan faktor psikologis paling utama yang dapat memicu timbulnya skizofrenia. [sri hartaning sih].
0 komentar:
Posting Komentar