Perspektifnews.Yogyakarta. Tidak mendengar bunyi klakson, itulah yang terjadi pada setiap orang dengan gangguan pendengaran tuli total. Sehingga tuli yang berkendara di jalan raya dituntut untuk ekstra hati-hati, paham situasi melalui visualisasi. Mengingat, tidak semua pengguna jalan raya menyadari bahwa ada di antara mereka tuli yang juga sedang berkendara. Namun demikian, kenyamanan dan keselamatan berkendara di jalan raya menjadi harapan semua orang, tanpa kecuali tuli.
Berkendara di jalan raya tanpa pendengaran namun mengoptimalkan fungsi penglihatan dan perasaan, dilakukan oleh para tuli. Dengan harapan tidak mengganggu atau membahayakan pengendara lain. Artinya, mereka memiliki kemampuan, pengetahuan, keterampilan dan etika berkendara di jalan raya.
Nampaknya upaya itu tidak cukup membuat pengendara tuli dipercaya berkendara di jalan raya. Mereka dilarang untuk berkendara di jalan raya, oleh sebab ketulian yang menyertainya. Sementara berkendara adalah kebutuhan, berada di jalan raya untuk memenuhi kebutuhan adalah hak setiap warga negara, tidak terkecuali tuli.
Ditambah dengan tuli total yang tidak dapat mengakses Surat Izin Mengemudi (SIM), menambah kompleksitas permasalahan bagi tuli mengakses jalan raya. Tuli total dalam perangkap signal ‘dilarang’ berkendara di jalan raya. Larangan yang tidak secara eksplisit dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Pahami mereka
Jika saja kita mau menempatkan diri sebagai orang dengan gangguan pendengaran, tuli total. Tuli total yang sedari kecil tidak pernah menggunakan alat bantu dengar. Ketika sudah beranjak dari masa kanak-kanak dipaksakan menggunakan alat bantu dengar, hasilnya bukan mendengar. Melainkan alat bantu dengar tersebut mengganggu aktivitas, dan mempengaruhi konsentrasi. Hal tersebut dikemukakan oleh salah seorang tuli anggota Gerkatin DIY, Wahyu Tri Wibowo yang disapa dengan nama panggilan Ayut.
Bagaimana saat tuli total berada di jalan raya, menggunakan alat bantu dengar? Bisa jadi justru membahayakan diri mereka sendiri dan orang lain, karena mereka tidak mampu berkonsentrasi karena alat bantu dengar yang digunakannya. Kondisi ini harus menjadi pemahaman bagi semua.
Menanggapi kondisi tersebut Ditlantas POLDA DIY mencoba bersikap memberikan solusi alternatif. Gambar tempel atau sticker berlogo ‘TULI’ adalah solusi alternatif itu. Sebagaimana hasil diskusi, sticker akan dipasang pada slebor bagian belakang motor. Dengan warna dasar kuning dan logo berwarna hitam. Sticker ini jelas dapat dilihat oleh pengendara lain yang berada di belakangnya.
Menghargai sesama
Bagi pengguna jalan yang mendapati motor atau mobil dengan stiker logo tuli, diminta untuk belajar menghargai pengendaranya. Mengendarai sesama, tidak perlu mengklakson, karena akan sia-sia. Pengendara lain diharapkan menggunakan kode atau nyalakan lampu sign ketika akan menyalip atau mendahului pengendara tuli tersebut.
Sebagaimana ditulis dalam paragraf awal, bahwa dalam berkendara pengendara tuli mengandalkan visualisasi. Kemampuan visualisasi mereka jauh lebih baik dari pada orang mendengar. Memperhatikan kaca spion, sehingga tahu bahwa ada pengendara lain yang hendak mendahuli atau menyalip itulah yang mereka lakukan saat berkendara.
Pertengahan November 2018, sticker tersebut resmi akan dilaunching. Selain sticker, wacana penggunaan bendera juga akan menjadi identitas para pengendara dengan gangguan pendengaran, tuli total. Mari bersama berbagi dunia, berbagi di jalan raya. Saling memberikan kesempatan, adalah sebuah cara menerima mereka di dunia ini. Tentu saja tidak perlu menunggu menjadi seperti mereka untuk melakukan semuanya. [sri hartaning sih].
0 komentar:
Posting Komentar