HARI itu, Rabu medio September 2016, matahari
masih bersinar terik. Waktu menunjukkan pukul 15.15 WIB. Di dalam ruang 120,
Jurusan Sains, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
(UST) Yogyakarta, berdiri seorang perempuan mini
people, dengan tinggi tubuh tidak sampai satu meter. Ia menghadap ke arah
beberapa mahasiswa. Sedang memberi materi kuliah rupanya. Kali itu, ia sedang memaparkan
Hukum-hukum Dasar Stoikiometri. Sebuah ilmu yang mempelajari dan menghitung
hubungan kuantitatif reaktan dan produk dalam reaksi kimia (persamaan kimia).
Benar, perempuan itu adalah seorang dosen. Ia bernama Ayu Fitri Amalia (31), dosen ilmu kimia. Tidak
terlihat ada yang aneh dalam kelas itu. Seluruh mahasiswa yang hadir, khusyuk
dan hormat mengikuti materi demi materi yang dijelaskan oleh sang dosen melalui
power point yang disiapkannya. Sesekali
Ayu menjelaskan rumus-rumus kimia dengan menulis di bagian bawah papan white board. Begitulah, Ayu Fitri memang
hanya mampu meraih dan menggunakan papan white
board pada bagian bawah, tersebab kondisi
tubuhnya yang pendek adanya.
“Tidak ada kendala bagi saya di kelas, tidak ada
yang melihat fisik saya yang pendek ini, jauh lebih pendek dari semua mahasiswa
saya,” ujar perempuan kelahiran Palembang 2 Juli 1985 itu.
Ayu tergolong dosen baru di UST. Belum genap satu
tahun menjadi dosen DPK (Dosen Dipekerjakan) di kampus kebangsaan dan kerakyatan
tersebut. Terpancar dari raut mukanya keceriaan saat berbagi ilmu. Gestur
tubuhnya jelas terbaca bahwa kepercayaan diri tertanam kuat pada dirinya.
Menjaga mimpi
Menjadi guru memang sudah menjadi cita-citanya. Terpatri
sejak dia lulus SMA dan menyukai pelajaran sains, materi fisika. Terlebih
setelah bertemu dengan guru bimbingan belajar (Bimbel), yang membuatnya tidak
hanya sekadar bisa fisika tetapi paham tentang fisika. Sejak itu Ayu menjaga
mimpinya, bertekad dapat meraih cita-cita dengan percaya diri.
Ayu Fitri Amalia, perempuan bertubuh pendek (mini people) itu adalah anak pertama
dari tiga bersaudara. Sejak Taman Kanak-kanak (TK)
hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), orang tuanya menyekolahkan Ayu pada sekolah
umum di Palembang, Sumatera Selatan. Masa kuliahnya dia jalani di Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta. Dia menyelesaikan studi strata satu (S1) dan strata dua
(S2)di universitas yang terkenal dengan julukan Kampus Biru itu.
Ayu dilahirkan di tengah keluarga yang berdisiplin tinggi,
dan menerapkan pendidikan konservatif. Sebuah pendidikan yang mengharuskan,
tanpa memberikan pilihan. “Kami semua harus pintar, boleh bermain tapi
hanya sebentar. Tidak diizinkan bermain di luar rumah, hanya harus sekolah, mengikuti
pelajaran tambahan, menonton televisi sebentar, lalu belajar lagi dan tidur.
Esok harinya, sekolah lagi, tuturnya. Demikian
rutinitas yang dilalui Ayu semasa sekolah di Palembang. Namun, semua itu tak membuatnya menjadi seorang pemberontak
atau bahkan penakut. Dia hanya menurut. Ia berkeyakinan, bahwa hal itu tentu
yang terbaik bagi dirinya. Ayu selalu berpikir positif, bahwa cara mendidik
orang tuanya yang sedemikian rupa yang telah mengantarkan dirinya menjadi
seorang dengan pribadi yang kuat, tidak inferior, dan selalu visoner.
Ketika berusia 26 tahun, Ayu telah
menyelesaikan pendidikan S2, Studi Fisika, di UGM. Dia tidak pernah merasa
rendah diri. Tubuhnya yang pendek tidak
menghalanginya menjadi siapapun. Selama kuliah, Ayu mengajar privat pada siswa
jenjang SD hingga SMA. Menurut dia, semua orang di Yogja tidak melihatnya
berbeda. “Mereka memandang saya tidak pada fisik, tapi pada apa yang saya bisa
lakukan,” imbuhnya
Belajar memaafkan
Pada bagian lain ia berkisah, peran orang
tuanya, terlebih sang ibu, sangat berpengaruh dan membentuk pribadinya. Dia anak
pertama dari tiga bersaudara. Kedua orangtuanya tidak pernah memperlakukan Ayu berbeda
dengan kedua adiknya. “Saya hanya harus menurut, tidak pernah bertanya,” kenang
Ayu sambil menahan air mata. “Mungkin ibu ingin saya harus punya kelebihan, di balik
kekurangan yang saya miliki,” tutur Ayu. Ia tak mampu menahan air matanya.
Dengan tisu Ia dia sekacepat bulir air mata yang hendak menyentuh pipinya. Ia
seakan hendak menggugat, bertanya, namun sekaligus bangga.
Ia menambahkan, “Ibu memang tidak pernah
malu memiliki anak seperti saya, dengan tubuh yang pendek, tidak sampai satu
meter ini. Andai saya tidak dididik dengan cara konservatif, barangkali saya
tidak menjadi seperti sekarang ini,” tuturnya. Lagi-lagi Ayu tak kuasa membendung
air mata.
Sejak duduk
di bangku Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Sekolah Dasar (SD), tidak pernah dia
mendapatkan perlakuan diskriminatif, baik dari guru maupun teman-temannya. Dia diikutkan
antar jemput mobil sekolah karena kesibukan orang tuanya. Namun perlakuan bully pernah dia dapatkan dari sebagian
kecil kawannya. Namun Ayu kecil tidak pernah minder dengan fisiknya. “Ibu tidak
lantas memarahi teman-teman ketika mendapati anaknya dicemooh (bully). Dari situ saya diam-diam belajar
memaafkan,” ujar Ayu.
Konservatif
Sejak kecil
Ayu dan adik-adiknya biasa dengan disiplin. Pulang sekolah, siang hari, makan
siang, selanjutnya diwajibkan untuk tidur siang. Sore diikutkan mengaji ke
masjid, waktu bermain di rumah dengan teman-teman sebaya tidak banyak. Malamnya
diwajibkan menyelesaikan tugas sekolah dan belajar.
Mimi,
sapaan untuk ibu tercint, sangat
berperan dalam proses pembelajaran di rumah. ”Saya dan adik-adik bisa membaca dan
berhitung karena mimi yang sangat intens mengajari di rumah, di sekolah kami
tinggal memperlancar.”
Selama di SD
Ayu maupun adik-adiknya selalu menduduki ranking sepuluh besar. Di SMP selalu
masuk dalam kelompok kelas unggulan. Ayu yakini itu, karena pemikiran orang tua
yang konservatif tapi positif, yang menuntut anak-anaknya untuk berprestasi di
bidang akademik.
“Bahwa
setiap anak itu spesial, punya bakat masing-masing, belum terpikirkan saat itu
oleh orang tua saya. Tapi, apapun saya bangga dengan cara mereka mendidik kami,
karenanya kami berhasil dan tumbuh percaya diri yang kuat,” ujarnya.
Selepas SMP, dia bersekolah SMA negeri yang
letaknya agak jauh dari rumahnya. Dia mulai dilatih mandiri, menggunakan
kendaraan umum untuk pergi dan pulang sekolah. “Terkadang saya mendapatkan
angkutan yang akses untuk fisik saya yang kecil, sopir mau menunggu sampai saya
benar-benar masuk ke dalam mobil, baru kemudian jalan. Namun tidak jarang saya juga
mendapatkan angkutan yang sopirnya tidak sabar.” Dia berhasil berusaha menyesuaikan
diri, bergerak cepat untuk dapat meraih
bangku dan pegangan dalam mobil angkutan (angkot). Di SMA dia berada di
jurusan IPA, sebagaimana tuntutan orang tua. Kemudian diikutkan kursus bahasa
Inggris, dengan angkot saya pulang pergi ke tempat kursus, yang jaraknya lebih
jauh lagi dari tempat tinggal kami.
Tahun 2014 Ayu lulus tes sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Sebelumnya
dia direncanakan oleh Kopertis V untuk ditempatkan di sebuah universitas
swasta. Dengan alasan konsentrasi keilmuan saya saat itu belum dibutuhkan, maka
ia tidak bisa mengajar di sana. “Akhirnya
saya ditempatkan di UST Yogyakarta, sebuah kampus yang tanpa syarat menerima
dan memberi kesempatan saya untuk mendedikasikan ilmu. Saya merasa bersyukur
dan berterima kasih pada UST atas kesempatan yang saya dapatkan. (sri hartaning sih)
0 komentar:
Posting Komentar