Puncak Eksplorasi Titik “Perspektif”
Catatan Pameran di Bentara
Budaya Yogyakarta 2 - 8 Agustus 2016
SELASA 2 Agustus 2016 sore hari. Kesibukan terjadi di pelataran Bentara
Budaya Yogyakarta, Jalan Suroto 2, Kotabaru.
Riuh jalanan tak membuat kesibukan sekitar pukul 16.00 WIB, itu terganggu.
Tenda terpasang, sedikitnya 150 kursi ditata dan panggung bersolek. Begitulah.
Sore itu, dilaksanakan pembukaan pameran Kelompok Perspektif Yogyakarta. Agak tidak lazim, karena pembukaan pameran
di gedung itu biasa berlangsung malam hari.
Liputan media |
Inilah pameran terbesar yang pernah diselenggarakan Perspektif. Meski kelompok itu baru “seumur jagung”, didirikan
Oktober 2014, namun pencapaian atas hasil kerja keras mereka selama ini,
kiranya layak dicatat. Setidaknya jika dilihat dari keberhasilan kelompok ini
dalam upaya membangun mental difabel melalui karya seni rupa. Perspektif tidak melihat anak penyandang
difabel itu sebagai obyek, namun justru sebagai subyek, bahkan bersama dengan
kedua orangtua mereka.
Tersebutlah tujuh anak anggota Perspektif
yang menggelar pameran akbar bertajuk Eksplorasi Titik – Membongkar Alam Pikiran
dengan Seni Rupa. Ini adalah pameran yang keempat bagi Perspektif. Pameran perdana,
sebagai presentasi karya, digelar Februari 2015. Pameran kedua Juni 2015,
keduanya di Yogyakarta. Sedangkan pameran ketiga, mengikuti Festival Oz Asia di
Adelaide, Australia pada September-Oktober 2015. Dalam festival berskala
interasional, itu Perspektif
merupakan satu-satunya kelompok difabel dari Indonesia yang menggelar pameran
di Oz Asia Festival Australia.
Tujuh anak anggota Perspektif
adalah Angger Gagat Raino (7), Muhamad Haidar Arifin (8), Suryo Putro Legowo
(9), Hepi Nafisa Mukholifah (9), Maydea Nur Khasanah (13), Okta Mahendra (19)
dan Laksmayshita Larasati (21).
Dalam pameran yang digelar 2 hingga 8 Agustus 2016 ini, Perspektif berkolaborasi dengan Tutti
Arts, sebuah lembaga yang memfasilitasi para difabel yang bergerak di bidang
seni, berkedudukan di Adelaide, Australia. Tutti Arts menyertakan sembilan
seniman yang memamerkan karya lukisan dalam pameran di BBY. Kelompok Perspektif
juga menjalin kolaborasi dengan
Tutti Arts kala gelar pameran di Adelaide, Australia 2015.
Dukungan Sri Sultan
HB X
Dalam sambutan pada
pembukaan pameran, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan,
pihaknya sangat mendukung pameran yang menampilkan karya-karya penyandang
difabel seperti ini. Melalui pameran kali ini, demikian Sri Sultan HB X, yang
dibacakan Wakil Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Sigit Rahardja, karya senimannya
dapat membantu mereka untuk mendapatkan perhatian dan hak yang sepatutnya
didapatkan. “Pameran merupakan jembatan strategis yang akan enghubungkan para
seniman difabel pada pengakuan atas kemampuan profesional mereka, termasuk pengakuan
bahwa mereka juga pekerja seni dan pekerja industri kreatif, tutu Gubernur DIY.
Selaras dengan itu, Moelyono selaku konseptor dan fasilitator Perspektif
mengungkapkan, setiap anak adalah seniman, artinya setiap anak menguasai media seni. Dari proses pembelajaran yang pernah dilakukan adalah dengan
mendudukkan bahwa setiap anak adalah subyek dan fasilitator juga memposisikan
diri sebagai sesama subyek. Proses
penguasaan media seni rupa, merupakan proses dialog sesama subyek yang
melahirkan pembelajaran bersama, muncul dan menguatnya rasa percaya diri setiap
anak, bahwa setiap anak merasa yakin
dengan mudah, gampang, bisa menggambar. Tahapan menggambar yang membuat setiap anak
merasa percaya diri dengan mudah bisa menguasainya, adalah pada tahap awal
menggambar, yaitu Titik.
Tidak dibatasi fisik
Ketua Perspektif, Sri Hartaning Sih, pada bagian lain mengatakan,
berkarya seni adalah hak setiap orang, tidak dibatasi oleh keadaan fisik. Demikian
pula bagi mereka yang terlahir sebagai difabel. Hanya kesempatan dan
aksesibilitas yang dibutuhkan oleh setiap orang yang terlahir difabel, sehingga
mereka berdaya, setara dan mampu melakukan apa saja. Kelompok
Perspektif percaya, setiap orang mampu mengekspresikan diri melalui
karya seni. Tak ada istilah berbakat
atau tidak berbakat, pintar atau bodoh, bagus atau jelek, mampu
atau tidak mampu. Setiap orang berhak atas dirinya untuk menjadi apa saja, menjadi siapa
saja.
Bagi penyandang difabilitas, aksesibilitas sesuai dengan kebutuhan,
kesempatan tanpa syarat akan mendukung kemandirian dan kepercayaan diri.
Kemandirian dan kepercayaan diri, akan menepis keberbedaan untuk kemudian melahirkan rasa nyaman.
Sri Hartaning Sih mengatakan, paham mengenai
“kenormalan” telah melekat erat dalam masyarakat. Semua
itu terbentuk karena ketidaksadaran kolekfif masyarakat. Dalam pemahaman ini, mereka yang normal adalah orang yang
memiliki kesempurnaan organ tubuh yang berfungsi dengan baik. Pemikiran ini
telah telanjur terkonstruksi. Maka, kata Sri Hartaning Sih,
kelompok Perspektif mencoba membongkar alam pikiran di atas melalui kegiatan berseni rupa, dengan keyakinan penuh bahwa seni rupa merupakan media
untuk bersama belajar saling peduli, saling menghargai dengan berproses
bersama eksperimentasi, eksplorasi, kreasi, dan apresiasi.
Setiap orang tua harus memiliki dukungan terhadap
anak-anaknya, terlebih pada anak yang terlahir difabel. Dukungan dan
keterlibatan orang tua serta keluarga sangat berpengaruh terhadap perkembangan
difabel. Apresiasi juga harus diberikan terhadap sekecil apapun yang dilakukan
difabel. Pameran kali ini adalah bukti akan hal itu
semua.
Titik
puncak
Laksmaysyita dan karya instalasi titi |
Ada pula karya instalasi Titik pada bidang seluas
tiga puluh meter persegi. Titik yang dibuat menggunakan guntingan kardus alam
bentuk ulatan (titik ukuran besar) yang dicat senada, warna putih, itu dipilih karena
si pencipta, Laksmayshita, adalah penyandang tuli (deaf). Ini merupakan cara sang seniman berkomunikasi dengan orang
lain yang diwujudkan melalui karya seni rupa. Salah satu pintu masuk menguasai
media seni adalah dengan penguatan rasa percaya diri. Sedangkan penguatan rasa
percaya diri setiap anak untuk dapat menguasai media seni rupa adalah dengan
tahap penguasaan elemen seni rupa yang paling dasar, yaitu : Titik.
Pameran bertema
Eksplorasi Titik, ini menurut Sri Hartaning Sih dan Moelyono, merupakan puncak
karya anggota Perspektif setelah
selama dua tahun berproses menggali kemampuan, membangun mental dan menemukan
cara mengekspresikan diri melalui seni rupa. Untuk masa mendatang, setelah Titik, akan
bergerang mengeksplorasi Garis.
Membangun
Mental
Adakah pengaruh bagi
seorang difabel dengan berkarya seni? Kemandirian
mental yang terbangun selama aktif mengikuti kegiatan bersama Perspektif, senyatanya telah terbukti.
Dalam kehidupan sehari-hari di rumah maupun di sekolah, mereka kini lebih mampu
mengelola emosi, mantap mengaktualisasikan diri, bertanggung jawab dalam
berekspresi.
Bagi Angger, misalnya.
Dilahirkan tanpa mempunyai kemampuan mendengar, semula lebih suka bermain game dengan gawainya. Setelah aktif
dalam Perspektif, Angger mampu menunjukkan kepercayaan dirinya.
Cekatan jika sedang berekspresi menggunakan benda apapun untuk “menitik”. Di
kanvas, di kertas, di tripleks, dengan batu kerikil, kayu, kertas atau
biji-bijian. Interaksi bersama kedua orangtuanya dalam mengolah karya, telah
membuahkan hasil antara lain ketekunan, ketelitian dan kemandirian.
Demikian pula Haidar.
Sebagai penyandang difabilitas daksa, hanya dengan satu tangan dan satu kaki di
bagian kiri, tidak menghalanginya untuk menghasilkan karya terbaik. Dalam bimbingan sang Ibunda, Haidar aktif
mengikuti seluruh proses sejak awal bergabung dalam Keluarga Perspektif. Karyanya hadir ekspresif dominan warna hitam.
Akan halnya Suryo,
awalnya dikenal sebagai anak pemalu. Tidak mau berinteraksi dengan orang lain.
Namun, sejak bergabung dalam Perspektif,
sebagai difabel tuli seolah dia telah menemukan dirinya. Setiap kali bertemu
dengan sesama anggota Perspektif, selalu
menunjukkan perkembangan kepribadian positif, tidak lagi canggung, tidak malu
dan berani berkomunikasi dengan siapapun. Titik telah menumbuhkan percaya diri, sehingga Suryo
kini bermental tangguh.
Adapun bagi Okta,
penyandang mental retardasi, memang jarang berbicara dan lebih banyak diam.
Kini mampu berkonsentrasi dan meluapkan ekspresinya, dengan membuat karya
Titik. Ia berkomunikasi dengan orang lain melalui karyanya.
Sedangkan Hepi, penyandang
difabel tuli, yang aslinya memang murah senyum dan pandai bergaul, berkarya
seni rupa makin menguatkan dirinya untuk selalu bersemangat dan tak pernah
canggung dalam bereksperimen ketika membuat karya dengan media apapun.
Sedikit berbeda dengan
Maydea, penyandang difabel slow learner
itu semula lebih banyak di dalam rumah dan jarang bergaul. Kini, sulung dari dua
bersaudara itu tak lagi malu untuk bertemu dengan siapa pun. Dea mengekspresikan jiwanya membuat karya seni
rupadan itu membuat mentalnya terbangun.
Bagi Laksmayshita,
satu-satunya anggota Perspektif yang
kini sudah menjadi mahasiswa di perguruan tinggi
pendidikan seni rupa, keinginannya untuk selalu ingin memberi inspirasi bagi
para penyandang difabel terus membuncah. Dengan kemampuannya berkarya seni
rupa. Ia terus mengeksplorasi diri mengasah kepekaan jiwa seninya, bahkan tak
jarang berekspresi dengan olah tubuh, menari dalam senyap.
Tak
berlebihan memang, jika dikatakan ini adalah pameran Perspektif terbesar yang selama ini digelar. Betapa
tidak. Dengan persiapan yang membutuhkan waktu sekitar satu tahun,
penyelenggaraan ditata. Display karya sederhana tapi menawan. Dukungan berbagai
organisasi difabel di DIY juga berdatangan. Sedikitnya 150 orang hadir pada
pembukaan pameran. Sampai pameran ditutup, 8 Agustus 2016 malam, tamu yang
datang menyaksikan pameran dan tercatat dalam buku tamu, sedikitnya 300 orang.
Dari sebuah organisasi yang membina anak-anak dengan cerebral palsy (CP), bahkan membawa 35 anak dan orangtua mereka,
minta diberi workshop secara khusus.
Media
massa lokal maupun nasional mengapresiasi pameran ini. Media cetak, media
elektronik, media on line. Harian Kompas, Tribun Jogja, Radar Jogja, Kompas TV, RCTI, Kresna TV, Radio Sindo FM, untuk menyebut beberapa.
Juga beberapa ulasan di blog terbuka, Kompasiana.
Puncak eksplorasi Titik Perspektif senyatanya
memang telah terlaksana. (agoes
widhartono)
0 komentar:
Posting Komentar