Hidup bermartabat dan tidak ingin dikasihani dipilih oleh para difabel yang tergabung dalam Komunitas Difabel Blora Mustika (DBM). Mencipta karya batik dengan motif khas Blora ‘ranting jati’, menjadi kegiatan sehari-hari anggota komunitas. Pada saat tertentu, mereka akan berinovasi menciptakan karya sesuai moment.
“Logo Asian Para Games 2018 menjadi motif batik saat moment penyelenggaraan even itu. Adapun batik dengan motif kursi roda, dan daun jati dibuat khusus untuk Presiden Indonesia Jokowi.” Ujar Kandar salah seorang penggagas DBM saat ditemui Solider pada agenda Temu Inklusi di Desa Plembutan, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul, Selasa (23/10/2018).
Pagi itu Kandar sedang menata dan memajang puluhan kain batik yang sebagian besar bermotif ranting dan daun jati, pohon khas Kabupaten Blora. Seluruh kain batik yang dipajang dan dipamerkan adalah karya sepuluh orang anggota dan pengurus DBM. Setiap potong batik dijual dengan harga 200 ribu rupiah.
Dua orang perempuan sedang berbincang dengan Kandar sambil memilih kain batik. Akhirnya masing-masing membeli satu potong kain batik. Salah seorang memilih motif Asian Para Games 2018, seorang lagi memilih motif batik khas Blora. Keduanya adalah pengunjung yang datang dari Jakarta, utusan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) sebagai undangan pada agenda Temu Inklusi (TI) 2018.
Pasar Inklusif
Salah seorang yang bernama Sri Astuti Kusuma Rahayu, Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Kebijakan Bantuan Sosial TNP2K mengungkapkan apresiasinya. “Batik ini cukup bagus, selain memiliki ciri khas juga berkarya berdasar momentum. Ini sangat inovatif dan kreatif,” ujarnya.
Dia juga menghimbau DBM agar selalu mengasah kemampuannya, agar batik karya DBM semakin baik dan dapat bersaing di pasar. “Yang ditawarkan adalah produk yang berkualitas, bukan pada siapa yang membuat produk tersebut. Dengan demikian pasar inklusif dengan sendirinya akan tercipta,” himbaunya.
Apresiasi dan himbauan tersebut diamini oleh Kandar, dan yang selalu ditanamkan pada pembatik anggota DBM. “Selalu belajar menjadi lebih baik melalui berbagai masukan, itu yang menguatkan tekat kami menjadi manusia mandiri yang bermartabat,” tuturnya.
Dilatarbelakangi keprihatinan
Selanjutnya kepada Solider Kandar juga menjelaskan bahwa dia menggagas Komunitas DBM tidak sendiri. Bersama Gus Ghofur yang saat ini menjadi ketua, Komunitas DBM berdiri sejak tujuh tahun silam. Keduanya menjadi difabel akibat kecelakaan kerja dan mengalami amputasi pada bagian tubuhnya.
Kandar diamputasi pada kedua lengannya mulai siku akibat tersengat aliran listrik. Adapun Gus Ghofur diamputasi pada kedua kakinya di atas lutut. Dikeluarkan dari pekerjaan, ditolak bekerja dialami oleh keduanya. Sehingga mereka bersepakat untuk mandiri, keluar dari stigma bahwa difabel itu orang yang tidak berguna, tidak bisa bekerja.
Ditinggalkan pasangan hidup karena menjadi difabel yang dialami oleh sebagian difabel di Blora melahirkan keprihatinan bagi Kandar dan Gus Ghofur. Pengalaman penolakan dan kasus umum pada difabel di wilayahnya, menguatkan gagasan dan melatarbelakangi terbentuknya DBM.
Pada awal berdirinya yakni 2011, komunitas ini beranggotakan tujuh orang saja. Seiring perjalanan waktu jumlah anggota komunitas terus bertambah. Hingga saat ini seluruh jumlah anggotanya sudah menjadi 700 orang lebih. Mereka dengan beragam difabilitas. Ada yang tuli, gangguan penglihatan (buta dan lowvision), difabel intelektual, psikotik, autis, polio, hidrochepalus, difabel amputasi, serta mereka yang sudah sembuh dari penyakit kusta.
Mereka juga dengan beragam pekerjaan. Ada yang berladang, bekerja sebagai petani, bekerja serabutan, pegawai swasta, dan sepuluh orang di antara mereka memilih membatik sebagai profesinya. [sri hartaning sih].
0 komentar:
Posting Komentar