Every Child is Special
MENJADI orangtua bagi anak
berkebutuhan khusus (ABK) bukan perkara mudah. Ada dukungan yang harus lebih banyak diberikan. Diskusi
yang harus lebih sering dilakukan. Kerjasama harus dijalin, berusaha sekuat
tenaga untuk bisa menjadi model yang baik. Dan yang terpenting, harus dapat
menunjukkan rasa cinta tulus dan lebih kepadanya.
Mengapresiasi
setiap kemajuan, sekecil apapun. Atau membantu menyelesaikan setiap masalah yang
dihadapi, atau dibutuhkan, adalah
keniscayaan dan merupakan dinamika lain yang
harus dilakukan orang tua dengan anak
berkebutuhan khusus.
Harus disadari
bahwa dalam diri setiap anak
membawa potensi atau kemampuan masing-masing. Perkembangan potensi pada anak
tersebut harus dioptimalkan, agar
anak mencapai derajat kemadirian, dan hak atas
dirinya. Setiap anak memiliki
potensi yang berbeda dalam hal bahasa dan bicara, kemandirian, sikap dan perilaku, kecerdasan, keterampilan, dan sosial emosionalnya.
Potensi-potensi tersebut dapat dikembangkan
atau dioptimalkan melalui pengasuhan, perawatan, pembimbingan, dan pendidikan
yang terbuka.
Tidak menuntut apapun atas hasil yang akan diraih
anak, hanya melakukannya bersama-sama tanpa lelah, menjadi
kunci dalam menumbuhkan semangat
dan kepercayaan diri anak berkebutuhan khusus.
Memilih pendidikan
Dibutuhkan keputusan yang tepat dalam mengarahkan pendidikanbagi si
anak. Dengan maksud agar ABK tetap mendapatkan pendidikan terbaik, sesuai dengan
kebutuhannya, sehingga dapat mengembangkan kemampuan atau potensi dirinya.
Saat ini gencar disuarakan tentang kebutuhan dan akses
pendidikan inklusi. Namun, kenyataan
berbicara lain. Kesiapan para penyelenggara pendidikan dalam memberikan
aksesibilitas masih terus harus ditagih.
Institusi pendidikan beramai-ramai mengejar label
sekolah inklusi, tanpa dibarengi dengan
pemberian aksesibilitas. Lantas, apa
yang harus dilakukan ketika sekolahnya sudah berlabel inklusi? Bahkan kata “inklusi” hanya dimaknai dengan memberikan
kesempatan ABK bersekolah bersama dengan
bukan ABK. Hanya itu.
Salah seorang
orang tua anak dengan down syndrome, Widya Wasityastuti, anggota Persatuan Orang Tua dengan Down Syndrome (POTADS) Yogyakarta,
membagikan pengalamannya. “Saya pernah mencari
sekolah inklusi, semoga saat ini sudah
lebih baik keadaanya,” Widya mengawali sharingnya
melalui grup di media sosial. Dia
mendapati sejumlah sekolah yang tidak dia sebutkan nama sekolahnya yang mencari untung dengan label sekolah inklusi.
“Terdapat beberapa sekolah yang hanya ingin
mendapatkan brand inklusi karena pemerintah mengalokasikan tambahan anggaran
jika sebuah sekolah menjadi sekolah inklusi,” tulis Widya. “Namun sebenarnya
perangkat sekolah belum siap menerima peserta didik dengan kebutuhan khusus
(ABK). Kemudian sekolah menyiasati dengan tetap menerima ABK yang mild disorder (berkebutuhan khusus
tingkat sedang-pen) saja.” tambahnya.
Sharing tersebut menjadi sebuah gambaran bagaimana orang tua dengan
ABK belum mendapatkan tempat nyaman dalam memilih dan menentukan pendidikan
yang tepat bagi buah hatinya. Tentu
saja, kondisi demikian
akan menyesatkan ABK yang orang tuanya hanya berburu sekolah inklusi. Para
orang tua demikan, merasa sudah cukup hanya dengan memasukkan anak-anak mereka
ke sekolah dengan label inklusi.
Berbasis
keluarga
Sungguh, butuh pemahaman dari setiap orang tua, bahwa konsep
pendidikan yang sesungguhnya adalah berbasis keluarga. Dibutuhkan sinergitas
antara sekolah dan keluarga dalam pembimbingan ABK. Ekstra energi, inovasi,
teknik, kesabaran dalam menyelesaikan tugas pendampingan sebagai orang tua anak dengan kebutuhan khusus.
Orang tua harus terbuka kepada pihak sekolah, atas
kondisi anak. Tujuannya agar diketahui kebutuhan apa yang tepat bagi sang anak.
Dengan demikian, hak untuk mendapatkan akses yang mendukung pembelaaran di
sekolah, dapat terpenuhi. Menutupi kondisi anak, justru akan menghambat perkembangan anak.
Dengan berani terbuka, artinya orangtua telah menerima kondisi anaknya. (sh)
0 komentar:
Posting Komentar