Latest Post
Loading...

Selasa, 06 November 2018

Membangun Kesadaran dan Kapasitas Jurnalis terhadap Isu Difabel



Mengungkap fakta dan menyajikannya menjadi sebuah berita informatif menjadi salah satu fungsi media. Mendorong tumbuhnya pemahaman tentang difabel atau sense of disability diharapkan lahir dari penulisan yang informatif berdasar fakta tersebut. Dengan demikian kesadaran atas seluruh hak yang melekat pada difabel dan pemenuhannya, tumbuh sebagaimana seharusnya.
Namun kenyataannya informasi yang disampaikan media tidak pada esensi, melainkan sensasional atau eventorial belaka. Berbagai faktor menjadi penyebab pemberitaan media tidak memenuhi kaidah dan harapan. Kurangnya awarness maupun pemahaman wartawan terkait isu difabel, atau otoritas redaksi terkait tidak adanya slot pemuatan berita difabilitas.

Humanity Inclusion (HI), organisasi internasional yang bergerak pada isu kelompok rentan salah satunya kelompok difabel, memandang perlu melakukan gerakan nyata. Sejak 2017 menghimpun para jurnalis di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), untuk diberikan pemahaman isu difabilitas, bagaimana pers memandang difabilitas, dilanjutkan praktek penulisan
Dua orang ekspert (ahli) didapuk sebagai narasumber atau fasilitator pada pelatihan yang berlangsung dua hari itu. Mereka adalah Agoes Widhartono, seorang penekun jurnalisme, wartawan senior, peneliti media, fasilitator, juga penulis. Dan, aktivis pejuang hak-hak difabel sekaligus Direktur Eksekutif Dria Manunggal Setia Adi Purwanta.
Membongkar pemahaman dan membangun ideologi tentang difabilitas, difasilitasi oleh Setia Adi Purwanta. Adapun bagaimana pers memandang difabel dan praktek penulisan difasilitasi oleh Agoes Widhartono.
Kembalikan fungsi media
Di antara penjelasan dalam memfasilitasi kegiatan, Agoes mengambil contoh judul penulisan sebuah surat kabar cetak di Yogyakarta. Sebuah berita yang mewartakan peristiwa perampokan disertai pembunuhan yang terjadi pada seorang gadis yang kebetulan tuli, pada 2017 silam. Berita dengan judul Gadis Bisu Tuli, Dihabisi dan Diperkosa Perampok
“Memangnya kenapa kalau bukan gadis bisu dan tuli yang dihabisi dan diperkosa perampok? Apakah juga harus ditulis Gadis Tidak Bisu Tuli, Dihabisi dan Diperkosa Perampok?” Pertanyaan menghentak sang fasilitator mengajak peserta berpikir dan menganalisa. 
Melalui contoh penulisan tersebut, para peserta lokakarya yang seluruhnya wartawan diajak memaknai bagaimana kaidah penulisan yang tepat. Bagaimana memilih diksi yang tepat, apa itu berita sensasional, efek pemberitaan, lahirnya stigmatisasi, serta menyampaikan fakta dengan tepat.
Meski tidak dipungkiri bahwa masing-masing media memiliki otoritas dan independensi dalam menyampaikan pemberitaaan. Namun demikian media sebagai kontrol sosial, harus dapat memberikan nilai edukasi kepada publik. Tidak sekadar mengandalkan lakunya penjualan, lantas kehilangan fungsi membangun kesadaran kritis pembaca.
Selama kurang lebih empat jam para wartawan ditanamkan materi-materi bagaimana merubah cara pandang tentang difabel. Dan bagaimana menulis agar menumbuhkan kesadaran kritis publik, pengambil kebijakan dan negara, bukan melahirkan stigma. 
Terpapar isu 
Pada kesempatan lain Project Manager Adfocation for Change (AfC) atau advokasi untuk perubahan HI, Singgih Purnomo atau yang disapa Ibeng, mengatakan bahwa peran media, baik cetak maupun elektronik sangat penting dalam mendukung proyek advokasi untuk perubahan. Untuk itu agar mengenal lebih dekat tentang difabel, bagaimana menulis atau memberitakannya, lokakarya tersebut dipandang sebagai satu cara yang tepat.
Lokakarya diharapkan dapat memberikan kontribusi membangun kesadaran dan kapasitas para jurnalis untuk mengenal kelompok rentan, yakni difabel. Selanjutnya mau menyuarakan dalam pemberitaan-pemberitaan di berbagai media masa, terkait pentingnya pelibatan dan keterlibatan kelompok difabel dalam proses pembangunan di daerah.
“Dengan lokakarya tersebut diharapkan setiap wartawan terpapar isu difabilitas. Syukur jika mau meliput dan memberitakan setiap kegiatan kawan-kawan difabel,” harapan sederhana yang disampaikan Ibeng.
Lanjutnya, “Minimal wartawan terpapar isu difabilitas terlebih dulu dalam menjalankan fungsinya dan perannya,” tandasnya.
Sebagaimana telah dilakukan pada tahun 2017, lokakarya kali ini merupakan kali kedua pada tahun kedua. Sebanyak 35 wartawan baik media cetak, elektronik, televisi maupun radio, terlibat dalam kegiatan tersebut. Berlangsung selama dua hari, 26-27 September 2018 kegiatan yang dikemas dalam Lokakarya Jurnalisme Inklusi dihelat di Horison Utima Riss Hotel. [sri hartaning sih].


0 komentar:

Posting Komentar