Namun meski datang dari pihak luar, kesempatan tidak cukup hanya ditunggu, melainkan diupayakan. Karena kesempatan atau peluang akan datang ketika seseorang memiliki nilai. Dengan demikian masing-masing pribadi harus melakukan yang terbaik, agar dapat mengukir nilai atas diri. Dan tidak bisa dibantah, bahwa kesempatan tidak akan datang untuk yang kedua kalinya. Sehingga saat kesempatan atau peluang datang, maka harus ditangkap dan dioptimalkan.
Apa yang didapatkan oleh seseorang adalah hasil dari upaya yang telah dilakukan. Ketika seseorang meraih prestasi sebagai atlet misalnya, tentu saja berkat ketekunan, keseriusan dan kontinuitas berlatih, serta komitem yang dibangun. Demikian pula dengan mereka yang sukses dalam pendidikan, dalam berbisnis, dan bidang lainnya, kesemua prestasi datang karena usaha yang telah dilakukan. Prestasi tidak akan datang pada seseorang yang tidak melakukan usaha apapun untuk meraihnya.
Mengukir nilai diri, meraih prestasi sangat terbuka dan berlaku bagi siapa saja. Tidak memandang wilayah geografis tinggal, sosial ekonomi, kondisi fisik, dan berbagai perbedaan lainnya.
Kesempatan bagi difabel
Bagaimana dengan difabel? Keterbatasan yang menyertai tentu saja membutuhkan aksesibilitas sesuai dengan kebutuhan. Aksesibilitas adalah harga mati yang harus dipenuhi. Aksesibilitas akan lahirkan kesetaraan, dan kesetaraan akan lahirkan kesempatan. Selain aksesibilitas, keluarga memegang peran utama. Keluarga adalah kunci lahirnya kesempatan itu.
Sikap-sikap yang ditumbuhkan pada keluarga akan mempengaruhi lahirnya kesempatan. Diantaranya, peduli, terbuka atau menerima, melibatkan dalam setiap kegiatan, mengembangkan diskusi, memahami, tidak menyalahkan melainkan memberikan solusi, dan berbagai sikap positif lainnya. Kesemua sikap positif keluarga akan melahirkan dukungan, yang pada akhirnya menumbuhkan semangat mengukir nilai diri, dan berprestasi.
Ada yang jauh lebih penting, bahwa dukungan yang diberikan orangtua dan keluarga musti dimaknai positif pula, bukan sebaliknya. Dari dukungan tersebut setiap diri musti semakin kuat dan fokus, tumbuhkan percaya diri. Percaya diri akan melahirkan motivasi pada siapa pun tidak terkecuali difabel.
Paparan di atas terjadi pada seorang Anggiasari Puji Aryati, yang disapa Anggi. Perempuan dengan tubuh kecil (mini people), atau limited edition, sebuah istilah yang digunakan Anggi mengistilahkan dirinya sendiri.
Ibuku segalanya
Bertepatan dengan misinya memberi semangat pada Keluarga Pinilih, sebuah komunitas keluarga dengan anak-anak mereka yang difabel, di Sedayu, Anggi berbagi pengalaman. Dia berkisah bagaimana dukungan penuh dari orangtua dalam hal ini sang ibu yang yang ia dapatkan sedari dini. Dukungan penuh sang ibu telah mengantarkan Anggi melampui tahapan demi tahapan pendidikan, hingga perguruan tinggi dan hingga meniti karir saat ini.
Pada acara gathering Keluarga Pinilih yang bertajuk Membuka Keterbatasan Memperteguh Persaudaraan, dibaginya bagaimana perjuangan sang ibu menciptakan peluang atau kesempatan. Bagi Anggi, Ibu adalah segalanya. Yang telah membuka dan menciptakan kesempatan bagi dirinya.
“Saya sangat bangga dan bersyukur dilahirkan oleh seorang ibu yang tidak pernah malu dan menyembunyikan keadaannya. Yang setiap saat mengenalkan saya pada lingkungan, pada dunia dan kehidupan yang memang harus dipelajari,” ujar Anggi.
Suatu hari saat hendak masuk Sekolah Dasar, dirinya juga sempat mengalami rasa tidak percaya diri. Saat itu kepala sekolah tidak yakin Anggi keil dapat mengikuti pembelajaran di sekolah umum. Sang ibulah yang meyakinkan kepala sekolah ketika itu. “Biarkan Anggi berproses dulu pak, kalau memang tidak bisa nanti akan kami pindahkan di Sekolah Luar Biasa (SLB).” Demikian cara sang ibu mengupayakan agar Anggi tetap sekolah di sekolah umum, SD Pa Vander School di Jakarta.
Optimalkan kesempatan
Dan benar saja, Anggi mendapatkan kesempatan bersekolah di sekolah berlabel nama Belanda tersebut. Dengan usaha dan kesempatan yang telah diperolehnya Anggi kecil tidak lantas manja dan bergantung pada bantuan orang lain. Meski bangku dan tempat duduk terlalu tinggi bagi dirinya, semua itu tidak menjadi masalah bagi Anggi. Angi selalu punya cara untuk dapat naik ke bangku. Pada awalnya Anggi selalu diangkat oleh sang ibu, kemudian didudukkan di bangku. Lama-lama Anggi dapat naik sendiri. Orangtuanya selalu membawakan kursi kecil, sehingga dengan kursi kecil menjadi selaksa tangga bagi Anggi agar bisa naik sendiri di bangkunya.
“Kesempatan itu tidak saya sia-siakan. Meski bangu dan meja terlalu tinggi bagi saya. Ibu dan saya selalu punya cara agar saya tetap nyaman dan aman duduk di bangku yang tinggi,” ungkap Anggi siang itu.
Dengan suara bergetar menahan emosi, Anggi melanjutkan berbagi. “Melihat perjuangan ibu saya, saya terinspirasi untuk tidak menyerah. Saya harus menunjukkan rasa bangga terhadap ibu dengan berprestasi. Paling tidak saya tidak tertinggal jauh dalam mengikuti pelajaran maupun bersosial,” semangat yang dia bagi.
“Jika ibu saya malu pada waktu itu, mungkin saat ini saya tidak bisa sampai di sini dan berbagi pengalaman,” ujar Anggi yang saat menjadi salah satu difabel calon anggota legislatif (Caleg) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Jika kesempatan itu sudah datang sebaiknya tidak disia-siakan. Tangkap dan optimalkan kesempatan, itu yang harus kita lakukan, kata dia. “Jika ada kemauan dan keinginan yang kuat untuk bisa, kita pasti bisa kog. Terlebih jika ada kesempatan, mari kita optimalkan. Tunjukkan kita bisa!” himbauannya.
Pada agenda yang digelar oleh Keluarga Pinilih di SD Pangudi Luhur, Sedayu, Bantul, Yogyakarta, Anggi membagikan catatan penting (quotation) dalam hidupnya. “Kesetaraan dimulai dari keluarga. Kesetaraan yang dibangun akan melahirkan kesempatan. Dengan kesempatan maka setiap pribadi dapat berprestasi dan bereksplorasi. Dengan demikian potensi yang dimiliki dapat digali dan diasah.” Pungkas Anggi. [sri hartaning sih].
0 komentar:
Posting Komentar