Latest Post
Loading...

Sabtu, 15 Desember 2018

Dua Angka Merah Nilai Raport Malioboro dan Balaikota Yogyakarta


Perspektif_News. Sejak diberlakukannya Perda DIY No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas (difabel) pada 15 Mei 2014, Kota Yogyakarta membuat banyak capaian terkait perwujudan aksesibilitas dan kebijakan kota inklusif. Sehingga Kota Yogyakarta menjadi barometer inklusivitas bagi kota-kota dan daerah lain di Indonesia.

Namun demikian, sejumlah Organisasi Penyandang Disabilitas DIY yang dimotori oleh Organisasi Harapan Nusantara (OHANA) menemukan dan mencatat adanya dua angka merah, nilai rapor Malioboro dan Balaikota Yogyakarta. Diwakili oleh beberapa difabel fisik, tuli dan netra, bekerja sama dengan Departemen Arsitektur Institut Teknologi Surabaya (ITS), pada 12 September 2018 telah melakukan survei  aksesibilitas di Malioboro dan Balaikota Yogyakarta.

Hasil survei dikemas dalam lembar kebijakan (police paper) serupa rapor disertai dengan skor penilaian 1, 2, 3, terkait proses survei. Skor tersebut menjelaskan, 1: tidak akses, 2: kurang akses tapi potensial dioptimalkan, dan 3: sudah akses (aksesibel). Berbagai elemen atau aksesibilitas fisik maupun non fisik yang menjadi penilaian adalah: akses masuk utama, area parkir, jalan miring (ramp), area masuk gedung, penerima tamu (resepsionis), ruang utama bagian depan (lobby), ruang kantor, koridor, pintu ruangan, tangga, toilet, serta papan informasi.

Selanjutnya pada Kamis (13/12/2018) rapor diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DIY), dan diterima oleh Wakil Ketua Pansus Pengawasan Perda No.4 Tahun 2012 Huda Tri Yudiana.  Berikutnya dilakukan penyerahan rapor kepada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Yogyakarta, yang diterima oleh Edy Muhammad, Kepala Bappeda Kota.

Dua angka merah yang menjadi catatan Pemerintah Kota Yogyakarta, setelah 4 tahun 7 bulan diberlakukannya Perda DIY No.4/2012 datang dari para surveyor difabel netra. Kedua angka merah itu terdapat pada (1) akses masuk utama dan (2) papan informasi. Keduanya mendapat skor 1 (satu) atau tidak akses bagi para difabel netra.

Pada akses masuk pintu utama, baik di Malioboro dan Balaikota tidak terdapat peta lokasi yang menjelaskan tiap-tiap lokasi. Peta lokasi taktual dengan penjelasan huruf braille atau dilengkapi suara sangat dibutuhkan difabel netra. Tanpa adanya peta aksesibel, hal tersebut sangat menyulitkan bagi difabel netra menemukan dan mencapai suatu lokasi. Demikian pula papan informasi berupa suara (voice) dan braille juga tidak ada pada kedua wilayah survei.
Adapun fasilitas atau aksesibilitas lain yang disurvei adalah tempat parkir kendaraan, berikut kantong-kantong parkir bagi difabel yang cukup jauh, jalan miring (ramp) yang tidak semua aksesibel, area masuk gedung yang masih bertangga, penerima tamu (resepsionis) atau pemberi layanan, bagi depan atau lobby dan ruang perkantoran, pintu penghubung atau koridor, pintu ruangan.

Dari semua yang mendapatkan skor angka 3 (aksesibel) oleh seluruh surveyor ialah area masuk gedung, penerima tamu (resepsionis), lobby dan ruang kantor.  Adapun yang lainnya berskor 2 (dua). Sudah ada aksesibilitas atau fasilitas, namun masih ada beberapa yang belum aksesibel namun berpotensi dioptimalkan fungsinya. Antara lain pada fasilitas area atau tempat parkir, ramp, jalan pemandu bagi difabel netra (guiding block), pintu penghubung, pintu ruangan, tangga, serta pemberi layanan (sumber daya manusia).

DPRD alokasikan anggaran
Menanggapi hal itu Wakil Ketua Pansus DPRD DIY Pengawasan Perda DIY No. 4/2012, Huda Tri Yudiana menyatakan menerima dan mengapresiasi hasil survei yang dimotori Ohana. Bentuk kepedulian terhadap layanan publik, perlu mendapatkan penilaian guna perbaikan dan optimalisasi layanan. Huda juga menyampaikan bahwa pada tahun anggaran 2019, DPRD DIY sudah mengalokasikan anggaran guna membenahi dan memenuhi aksesibilitas di berbagai wilayah di DIY.
Apresiasi dan ucapan terima kasih juga disampaikan Kepala Bappeda Kota Yogyakarta Edy Muhammad. “Ini merupakan masukan yang bagus. Sebetulnya sejak walikota membuat MOU Yogyakarta sebagai Kota Inklusi sejak 2013, Yogyakarta sudah berbenah melengkapi sarana prasara fisik lebih aksesibel” ujarnya.
Responsif dan komprehensif
Bagi Edy, merencanakan sarana prasarana (sarpras) atau aksesibilitas untuk difabel ibarat merencanakan  sarpras untuk diri sendiri. “Saat masuk usia 70 tahun, kita sudah butuh hal yang hampir sama dengan kelompok difabel. Untuk itu menyiapkas sarpras bagi difabel, sama hanya sedangkan menyiapkan kebutuhannya sendiri,” terangnya.
Diakuinya pula bahwa di Komplek Balaikota Yogyakarta, hingga saat ini belum ada tempat parkir khusus bagi difabel. Meski gambaran sudah diberikannya, namun tempat parkir dengan dengan logo difabel itu belum juga ada.
Hasil survei akan segera disosialisasikan kepada seluruh jajaran OPD. Selanjutnya diharapkan semua pihak responsif. Dengan komprehensif respon, selanjutnya akselerasi dan tindak lanjut penyediaan aksesibilitas fisik maupun non fisik dapat berjalan sebagai mana mestinya.
Sedangkan terkait hasil survei di Malioboro, Edy mengatakan akan segera menyampaikannya kepada pihak terkait, yakni UPT Malioboro. Dengan harapan mau berproses lebih ramah. Selanjutnya apa pun yang disuarakan segera direspon oleh pihak-pihak terkait. [Sri Hartaning Sih]

0 komentar:

Posting Komentar