Latest Post
Loading...

Jumat, 02 Desember 2016

Orang Tua Kelola Warung, Sambil Menunggu Anak Sekolah

BERBAGAI kegiatan positif dapat dilakukan kapan saja, di mana saja dan dengan cara apa saja. Demikian pula di sela-sela menunggu waktu anak-anak pulang sekolah, di halaman sekolah, berkegiatan positif dan produktif dapat dilakukan oleh para orangtua siswa. Itulah antara lain yang dikerjakan menunggu waktu anak-anak mereka pulang sekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) PGRI Nanggulan, Girimulyo, Kulonprogo.
Biasanya, sebagian para ibu hanya mengantar lalu pulang, ada  yang menunggu hingga anak mereka masuk kelas lalu pulang, kemudian menjemputnya ketika sekolah usai. Namun sebagian lainnya memilih menunggu di sekolah hingga usai pelajaran. Menunggu di sekolah, dipilih oleh orang tua yang jarak rumah ke sekolah jauh dan tidak memiliki aktivitas lain. Duduk-duduk bergerombol, ngerumpi, sering mewarnai kegiatan para ibu menghabiskan waktu menunggu yang cukup lama.

Kegelisahan positif
Kondisi tersebut  mengusik salah seorang perempuan, orangtua siswa yang saat ini anaknya sudah duduk di tingkat sekolah menengah. Anastasia Sri Nataliwati, nama perempuan itu. Ia juga biasa disapa dengan nama Wiwid. Perempuan itu melihat rutinitas yang monoton dan tidak produktif dari para ibu yang juga kawannya, kegelisahan menciptakan kegiatan produktif memenuhi benaknya.
Waktu menunggu yang cukup lama, menurut Wiwid dapat menjadi sebuah peluang bagi para ibu untuk berpenghasilan, membantu keuangan keluarga. Dengan demikian, mengantar dan menunggu anak ke sekolah mulai digunakan untuk berbisnis sederhana, memudahkan orang tua belanja murah guna memenuhi kebutuhan keluarga, murid mendapatkan kebutuhan sekolah, dan jajan makanan sehat.
            “Orang tua yang menunggu di sekolah sesungguhnya bisa memanfaatkan waktu dengan berkegiatan positif. Berjualan kebutuhan anak, atau jajanan di sekolah saya pikir adalah kegiatan yang paling pas,” kata Wiwid.
Gagasan tersebut disampaikan melalui diskusi dengan para orang tua. Wiwid melontarkan ide kreatif, produktif dan bernilai ekonomi kepada kawan-kawannya. Tidak bertepuk sebelah tangan rupanya. Para orang tua yang menunggu di sekolah sepakat mengoptimalkan waktu luang sambil menunggu anak mereka usai sekolah. Mereka mendirikan sebuah kelompok usaha ekonomi, mendirikan warung sekolah yang menyediakan kebutuhan harian keluarga, keperluan murid sekolah dan jajanan murid menjadi pilihan.
Menempati sebuah ruangan yang tidak terpakai, awal bulan Oktober 2016 kelompok usaha para orang tua tersebut didirikan dan diberi nama Iklas, kepanjangan Ikatan Keluarga Disabilitas. Sebanyak 28 orang tua bergabung sebagai pengurus dan anggota kelompok usaha peningkatan ekonomi tersebut. Sebagai modal awal, masing-masing anggota membayar iuran sebesar Rp 20.000. Lantas, dengan modal Rp 560 ribu yang terkumpul, warung sekolah Iklas mulai dibuka. Diawali dengan menjual jajanan bagi siswa SLB dan menyediakan keperluan sekolah.
Wiwid menuturkan, warung Iklas juga harus dapat menyediakan barang kebutuhan keluarga yang murah. Untuk mewujudkannya diperlukan tambahan modal. Guna menambah modal usaha, kelompok Iklas mengajukan permohonan dukungan dana kepada bebagai instansi dan orang-orang yang potensial memberikan bantuan.
Gayung pun bersambut. Ide mendirikan usaha peningkatan ekonomi tersebut mendapatkan dukungan dari sebuah lembaga. Yakkum Emergensi Unit (YEU) yang menggelontorkan modal usaha untuk berdirinya Kelompok Usaha Iklas SLB PGRI Nanggulan, Kulon Progo.
Puji Triwahyuni, salah seorang anggota kelompok usaha Iklas merasa senang dengan adanya kegiatan baru tersebut. “Tapi masih ada kendala dengan pembukuan. Untuk itu kami harus belajar tentang pembukuan, agar keuangan terjaga. Yang pasti kami semua senang dan bersemangat,” tutur Puji, ibu seorang anak totally blind tersebut.
Ubah nasib dan cara berpikir
Wiwid mengatakan, ide membuat kelompok usaha muncul karena kondisi sebagian besar orang tua murid yang rentan. “Sebagian besar dari murid SLB PGRI Nanggulan membutuhkan bantuan sarana prasarana sekolah dan kebutuhan pribadinya. Praktis ketika orang tua menunggui anaknya, kesempatan mencari nafkah jadi hilang,” ungkapnya.
Dorongan mengubah nasib, cara berpikir dan memajukan kehidupan ekonomi keluarga dengan anak berkebutuhan khusus sangat dia inginkan. “Saya tidak ingin hanya dikasihani, kami ingin diakui, anak-anak kami diterima di masyarakat,” ujar Wiwid.
Di bagian lain ia katakan, “Saya ingin kawan-kawaan saya bangkit dari kondisi menunggu belas kasihan, menunggu orang mengulurkan tangan memberikan bantuan.  Apalagi mengatasnamakan anak mereka untuk menerima belas kasih atau pemberian orang lain.  Sesungguhnya mereka mampu mengoptimalkan waktu dan bermanfaat bagi diri dan keluarganya.”.
 Ternyata, kata dia, kegiatan "nyambi" dalam mengisi waktu luang dapat bernilai ekonomi. Lebih dari itu, mereka juga belajar membuat laporan keuangan melalui pendampingan petugas dari YEU. Sehingga mereka tidak hanya berjualan, tetapi tahu bagaimana memanajemen keuangan. Seperti: mengelola keluar masuknya uang, memilah modal dan keuntungan, membelanjakan dan menyimpan, hingga menghitung keuntungan hasil usaha serta mengembangkan koperasi.
Belajar pembukuan, kata Wiwid dilakukan di halaman sekolah sambil mengawasi anak-anak mereka beristirahat.

Ia berharap, kelompok Iklas makin berkembang dan bisa mendampingi keluarga disabilitas untuk maju secara ekonomi, demikian pula cara berpikir para orang tua murid. (shs)

0 komentar:

Posting Komentar