BERBAGAI kegiatan positif
dapat dilakukan kapan saja, di mana saja dan dengan cara apa saja. Demikian
pula di sela-sela menunggu waktu anak-anak pulang sekolah, di halaman sekolah,
berkegiatan positif dan produktif dapat dilakukan oleh para orangtua siswa. Itulah
antara lain yang dikerjakan menunggu waktu anak-anak mereka pulang sekolah di
Sekolah Luar Biasa (SLB) PGRI Nanggulan, Girimulyo, Kulonprogo.
Biasanya, sebagian para ibu hanya
mengantar lalu pulang, ada yang menunggu
hingga anak mereka masuk kelas lalu pulang, kemudian menjemputnya ketika
sekolah usai. Namun sebagian lainnya memilih menunggu di sekolah hingga usai
pelajaran. Menunggu di sekolah, dipilih oleh orang tua yang jarak rumah ke sekolah
jauh dan tidak memiliki aktivitas lain. Duduk-duduk bergerombol, ngerumpi, sering mewarnai kegiatan para
ibu menghabiskan waktu menunggu yang cukup lama.
Kegelisahan
positif
Kondisi tersebut mengusik salah seorang perempuan, orangtua
siswa yang saat ini anaknya sudah duduk di tingkat sekolah menengah. Anastasia
Sri Nataliwati, nama perempuan itu. Ia juga biasa disapa dengan nama Wiwid. Perempuan
itu melihat rutinitas yang monoton dan tidak produktif dari para ibu yang juga
kawannya, kegelisahan menciptakan kegiatan produktif memenuhi benaknya.
Waktu menunggu yang
cukup lama, menurut Wiwid dapat menjadi sebuah peluang
bagi para ibu untuk berpenghasilan, membantu keuangan keluarga. Dengan
demikian, mengantar dan menunggu anak ke sekolah mulai
digunakan untuk berbisnis sederhana, memudahkan orang tua belanja murah guna
memenuhi kebutuhan keluarga, murid mendapatkan kebutuhan sekolah, dan jajan
makanan sehat.
“Orang tua yang menunggu di sekolah
sesungguhnya bisa memanfaatkan waktu dengan berkegiatan positif. Berjualan kebutuhan
anak, atau jajanan di sekolah saya pikir adalah kegiatan yang paling pas,” kata
Wiwid.
Gagasan tersebut disampaikan
melalui diskusi dengan para orang tua. Wiwid melontarkan ide kreatif, produktif
dan bernilai ekonomi kepada kawan-kawannya. Tidak bertepuk sebelah tangan
rupanya. Para orang tua yang menunggu di sekolah sepakat mengoptimalkan waktu
luang sambil menunggu anak mereka usai sekolah. Mereka mendirikan sebuah
kelompok usaha ekonomi, mendirikan warung sekolah yang menyediakan kebutuhan
harian keluarga, keperluan murid sekolah dan jajanan murid menjadi pilihan.
Menempati sebuah
ruangan yang tidak terpakai, awal bulan Oktober 2016 kelompok usaha para orang
tua tersebut didirikan dan diberi nama Iklas,
kepanjangan Ikatan Keluarga Disabilitas. Sebanyak 28 orang tua bergabung
sebagai pengurus dan anggota kelompok usaha peningkatan ekonomi tersebut. Sebagai
modal awal, masing-masing anggota membayar iuran sebesar Rp 20.000. Lantas,
dengan modal Rp 560 ribu yang terkumpul, warung sekolah Iklas mulai dibuka. Diawali dengan menjual jajanan bagi siswa SLB
dan menyediakan keperluan sekolah.
Wiwid menuturkan,
warung Iklas juga harus dapat
menyediakan barang kebutuhan keluarga yang murah. Untuk mewujudkannya
diperlukan tambahan modal. Guna menambah modal usaha, kelompok Iklas mengajukan permohonan dukungan
dana kepada bebagai instansi dan orang-orang yang potensial memberikan bantuan.
Gayung pun bersambut.
Ide mendirikan usaha peningkatan ekonomi tersebut mendapatkan dukungan dari sebuah
lembaga. Yakkum Emergensi Unit (YEU) yang menggelontorkan modal usaha untuk
berdirinya Kelompok Usaha Iklas SLB PGRI
Nanggulan, Kulon Progo.
Puji Triwahyuni, salah
seorang anggota kelompok usaha Iklas
merasa senang dengan adanya kegiatan baru tersebut. “Tapi masih ada kendala
dengan pembukuan. Untuk itu kami harus belajar tentang pembukuan, agar keuangan
terjaga. Yang pasti kami semua senang dan bersemangat,” tutur Puji, ibu seorang
anak totally blind tersebut.
Ubah
nasib dan cara berpikir
Wiwid mengatakan, ide
membuat kelompok usaha muncul karena kondisi sebagian besar orang tua murid
yang rentan. “Sebagian
besar dari murid SLB PGRI Nanggulan membutuhkan bantuan sarana prasarana
sekolah dan kebutuhan pribadinya. Praktis ketika orang tua menunggui anaknya,
kesempatan mencari nafkah jadi hilang,” ungkapnya.
Dorongan mengubah
nasib, cara berpikir dan memajukan kehidupan ekonomi keluarga dengan anak berkebutuhan
khusus sangat dia inginkan. “Saya tidak ingin hanya dikasihani, kami ingin
diakui, anak-anak kami diterima di masyarakat,” ujar Wiwid.
Di bagian lain ia katakan, “Saya
ingin kawan-kawaan saya bangkit dari kondisi menunggu belas kasihan, menunggu
orang mengulurkan tangan memberikan bantuan.
Apalagi mengatasnamakan anak mereka untuk menerima belas kasih atau
pemberian orang lain. Sesungguhnya
mereka mampu mengoptimalkan waktu dan bermanfaat bagi diri dan keluarganya.”.
Ternyata, kata dia, kegiatan
"nyambi" dalam mengisi waktu luang dapat bernilai ekonomi. Lebih dari
itu, mereka juga belajar membuat laporan keuangan melalui pendampingan petugas
dari YEU. Sehingga mereka tidak hanya berjualan, tetapi tahu bagaimana
memanajemen keuangan. Seperti: mengelola keluar masuknya uang, memilah modal
dan keuntungan, membelanjakan dan menyimpan, hingga menghitung keuntungan hasil
usaha serta mengembangkan koperasi.
Belajar pembukuan, kata
Wiwid dilakukan di halaman sekolah sambil mengawasi anak-anak mereka
beristirahat.
0 komentar:
Posting Komentar