Latest Post
Loading...

Selasa, 06 Desember 2016

Penegakan Hukum bagi Difabel Ibarat Benang Kusut


Perspektif NewsKompleksitas permasalahan difabel dalam mengakses keadilan (access to justice) layaknya benang kusut yang harus diurai satu persatu, diluruskan, dan dirapikan. Dibutuhkan tangan-tangan atau kerja bareng semua lini untuk mulai mengurai benang-benang kusut, agar dapat mendudukkan difabel pada tempat yang setara dengan manusia pada umumnya.
Demikian antara lain persoalan yang muncul dalam acara sharing bareng aparat penegak hukum, lembaga/organisasi serta masyarakat sipil, yang diselenggarakan oleh CIQAL (Center for Improving Qualified in Life of People with Disabilities), Selasa (6/12), di hotel Ruba Graha Yogyakarta.

Menurut pengacara Heniy Astianto, SH, butuh kerja bareng semua lini untuk mendudukkan difabel setara di muka hukum, sebagaimana layaknya masyarakat pada umumnya dalam diskusi yang dimoderatori Tutik Purwaningsih itu. Heniy katakan, kerja bareng itu dimulai dari yang terdekat dengan difabel yaitu keluarga atau orang tua. Dukungan penuh atas pengungkapan kasus harus dilakukan oleh mereka. Keyakinan dan keberanian bahwa keadilan atas kasus yang dhadapi akan mendapatkan keadilan di muka hukum, siapapun pelakunya.
Meski diakuinya banyak kasus yang gagal dibawa ke ranah hukum, karena faktor keluarga yang tidak ingin kasusnya dilanjutkan. Berbagai hal menjadi faktor. Antara lain ancaman dan tekanan terhadap keluarga dan korban oleh pelaku. Juga faktor malu, jika kasusnya dibawa ke peradilan akan membuka aib keluarga.
Sikap pro aktif organisasi masyarakat juga penting. Kerja sama bisa dibangun dengan cara lembaga/organisasi memberikan pemahaman terhadap difabel dan keluarga, menyediakan pendamping dan pengawalan kasus.
Bagi aparat penegak hukum, kata dia, mestinya fleksibel dalam menterjemahkan dan menerapkan aturan  peradilan. Dan yang tak kalah penting tentunya aksesibilitas fisik selayaknya ada di setiap kantor hukum seperti pengadilan. Hal tersebut diamnini oleh Fauzi, pengacara lain di Kantor Legal Center 97 Yogyakarta.
Akomodasi layak
Di bagian lain, Direktur CIQAL, Nuning Suryatiningsih mengatakan, hingga saat ini, permasalahan yang dihadapi difabel tidak hanya menyangkut infrastruktur (sarana-prasarana fisik) dan pelayanan publik saja, tetapi juga minim akses keadilan (access to justice).”
Kata Nuning, difabel membutuhkan akomodasi yang layak, yakni pemberian fasilitas bagi difabel berhadapan dengan hukum yang disesuaikan dengan kebutuhannya. Adanya ramp atau jalan miring di tiap kantor hukum, adanya toilet yang akses yang memungkinkn kursi roda dapat masuk, ruang aman bagi difabel sebagai korban, pendamping tidak harus bersertifikat, serta aparat penegak hukum yang paham permasalahan dan kebutuhan difabel.
Dalam beberapa kasus pendampingan yang dilakukan oleh CIQAL, kata Nuning, difabel kerap mengalami ketidakadilan dalam proses hukum karena minimnya akses. Satu contoh kasus pemerkosaan yang korbannya adalah seorang difabel tuli. Pihak kepolisian tidak bisa melanjutkan kasusnya dengan alasan tidak bisa menggali keterangan korban, karena korban tidak bisa berbicara.
Selain itu prosedur hukum acara yang melibatkan difabel masih ditafsirkan secara kaku oleh aparat penegak hukum (APH), akibatnya hak-hak difabel terabaikan. Hal tersebut masih terjadi pada kasus peradilan yang terjadi pada korban difabel tuli. Korban tuli yang membutuhkan akses penerjemah bahasa, keberadaan penerjemah bahasa isyarat terganjal dengan ketentuan bahwa penerjemah bahasa harus bersertifikat atau memiliki legalitas. Sementara di Yogyakarta, lebih luas lagi di Indonesia tidak ada lembaga sekolah penerjemah bahasa yang menerbitkan sertifikat sebagai legalitas.

Menurut Koordinator Program Advokasi CIQAL, Ibnu Sukaca, yang tak kalah penting dari agenda sharing tersebut ialah bertambahnya dukungan terhadap pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang sudah masuk Prolegnas segera menjadi Undang-undang. (SHS)

0 komentar:

Posting Komentar