Perspektif News – Kompleksitas
permasalahan difabel dalam mengakses keadilan (access to justice) layaknya benang kusut yang harus diurai satu
persatu, diluruskan, dan dirapikan. Dibutuhkan tangan-tangan atau kerja bareng semua lini untuk mulai
mengurai benang-benang kusut, agar dapat
mendudukkan difabel pada tempat yang setara dengan manusia pada umumnya.
Demikian antara lain persoalan yang muncul dalam acara sharing bareng aparat penegak hukum, lembaga/organisasi serta
masyarakat sipil, yang diselenggarakan oleh CIQAL (Center for Improving Qualified in Life of People with Disabilities),
Selasa (6/12), di hotel Ruba Graha Yogyakarta.
Menurut pengacara Heniy Astianto, SH, butuh kerja bareng semua lini
untuk mendudukkan difabel setara di muka hukum, sebagaimana layaknya masyarakat
pada umumnya dalam diskusi yang dimoderatori Tutik Purwaningsih itu. Heniy
katakan, kerja bareng itu dimulai dari yang terdekat dengan difabel yaitu
keluarga atau orang tua. Dukungan penuh atas pengungkapan kasus harus dilakukan
oleh mereka. Keyakinan dan keberanian bahwa keadilan atas kasus yang dhadapi
akan mendapatkan keadilan di muka hukum, siapapun pelakunya.
Meski diakuinya banyak kasus yang gagal dibawa ke ranah hukum, karena faktor
keluarga yang tidak ingin kasusnya dilanjutkan. Berbagai hal menjadi faktor.
Antara lain ancaman dan tekanan terhadap keluarga dan korban oleh pelaku. Juga
faktor malu, jika kasusnya dibawa ke peradilan akan membuka aib keluarga.
Sikap pro aktif organisasi masyarakat juga penting. Kerja sama bisa
dibangun dengan cara lembaga/organisasi memberikan pemahaman terhadap difabel
dan keluarga, menyediakan pendamping dan pengawalan kasus.
Bagi aparat penegak hukum, kata dia, mestinya fleksibel dalam menterjemahkan
dan menerapkan aturan peradilan. Dan
yang tak kalah penting tentunya aksesibilitas fisik selayaknya ada di setiap
kantor hukum seperti pengadilan. Hal tersebut diamnini oleh Fauzi, pengacara lain di Kantor Legal Center 97 Yogyakarta.
Akomodasi layak
Di bagian lain, Direktur CIQAL, Nuning Suryatiningsih
mengatakan, hingga saat ini, permasalahan yang dihadapi difabel tidak hanya
menyangkut infrastruktur (sarana-prasarana fisik) dan pelayanan publik saja,
tetapi juga minim akses keadilan (access to justice).”
Kata Nuning, difabel membutuhkan akomodasi yang layak, yakni pemberian
fasilitas bagi difabel berhadapan dengan hukum yang disesuaikan dengan
kebutuhannya. Adanya ramp atau jalan
miring di tiap kantor hukum, adanya toilet yang akses yang memungkinkn kursi
roda dapat masuk, ruang aman bagi difabel sebagai korban, pendamping tidak harus
bersertifikat, serta aparat penegak hukum yang paham permasalahan dan kebutuhan
difabel.
Dalam beberapa kasus pendampingan
yang dilakukan oleh CIQAL, kata Nuning, difabel kerap mengalami ketidakadilan
dalam proses hukum karena minimnya akses. Satu contoh kasus pemerkosaan yang
korbannya adalah seorang difabel tuli. Pihak kepolisian tidak bisa melanjutkan
kasusnya dengan alasan tidak bisa menggali keterangan korban, karena korban
tidak bisa berbicara.
Selain itu prosedur hukum acara yang melibatkan difabel masih ditafsirkan secara kaku
oleh aparat penegak hukum (APH), akibatnya hak-hak difabel terabaikan. Hal
tersebut masih terjadi pada kasus peradilan yang terjadi pada korban difabel
tuli. Korban tuli yang membutuhkan akses penerjemah bahasa, keberadaan penerjemah
bahasa isyarat terganjal dengan ketentuan bahwa penerjemah bahasa harus
bersertifikat atau memiliki legalitas. Sementara di Yogyakarta, lebih luas lagi
di Indonesia tidak ada lembaga sekolah penerjemah bahasa yang menerbitkan
sertifikat sebagai legalitas.
Menurut Koordinator
Program Advokasi CIQAL, Ibnu Sukaca, yang tak kalah penting dari agenda sharing tersebut ialah bertambahnya
dukungan terhadap pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang sudah
masuk Prolegnas segera menjadi Undang-undang. (SHS)
0 komentar:
Posting Komentar