Latest Post
Loading...

Minggu, 03 Januari 2016

Ketika Anak Down Syndrome Mencari Komunitas

Ketika Anak Down  Syndrome Mencari Komunitas

Putri Anda mengalami down syndrome. 

Satu kalimat terdiri lima suku kata yang keluar dari mulut seorang dokter, itu terasa bagai sambaran petir di siang bolong bagi pasangan Iis Sri Mulyati dan Edy Maryuntoro.  Tak hanya mengagetkan, namun juga terasa menyakitkan. Seolah saya sedang mimpi buruk dan rasanya ingin segera bangun saja, ujar Iis Sri Mulyati mengenang peristiwa itu.

Demikianlah sepenggal kisah yang menyertai seorang gadis bernama Adinda  Ranita Sariputri (13). Dia adalah  anak dengan  Down Syndrome  (DS),  lahir sebagai bungsu dari lima bersaudara. Bersama kedua orangtuanya, pasangan Iis-Edy, Adinda tinggal di kawasan Perumahan Minomartani, Yogyakarta. Sejak  Taman Kanak-kanak (TK) hingga saat ini kelas  VI Sekolah Dasar (SD)  SLB  Yapennas,  Condong Catur, Depok, Sleman,  Adinda   belum   bisa menulis, membaca, juga berhitung, ujar Iis Sri Mulyati, tentang putrinya yang lahir pada 18 Juni 2002 itu.

Down Syndrome adalah kelainan genetis permanen yang langka, terjadi   pada satu dari setiap 800 kelahiran. DS terjadi karena kelainan kromosom ke-21 yang seharusnya membelah dua, namun dalam kasus ini membelah menjadi tiga. 

Sebagaimana dilansir National Institues of Health, anak-anak dengan DS mengalami berbagai tingkat keterbatasan belajar dan berbahasa serta gangguan keterampilan motorik, mulai dari yang ringan hingga parah. Mereka juga lebih lambat berkembang secara emosi, sosial, dan intelektual. Sebagian  dari mereka juga memiliki kelainan bawaan, antara lain pada jantung,  ginjal, dan pencernaan.  Mereka juga  memiliki karakter khusus, pada wajah (mongoloid), dan otot lemah (hipotonia).

Menari

Menurut Iis, putrinya sangat gemar menari. Tapi di  sekolahnya, tidak  pernah  diajak  menari. Ingin sekali kami menemukan  komunitas agar dapat mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki Adinda. Juga sangat ingin bergabung  dengan keluarga yang sama-sama memiliki anak down  syndrome. Kami  ingin  sekali  mendapatkan  berbagai informasi   juga ingin berbagi,  tambah Iis.  

Menanggapi perihal tersebut, salah seorang  guru SLB Yapennas, Safrina Rovasita menuturkan, intelegensia  anak DS di bawah rata-rata, di bawah 70.  Tapi, itu bukan berarti ia tidak pandai. Kepandaian anak DS diperoleh dengan pembiasaan-pembiasaan. Pembelajaran lebih ditekankan pada bina diri. Kalaupun ada DS yang bisa membaca, ya hanya membaca tapi tidak memahaminya, ujar Safrina.  Demikian pula soal menulis. Mereka hanya menulis tanpa tahu  apa arti yang ditulis. Berbeda jika diajari menari dan sebagainya. Itu lebih bermanfaat,  tambah Safrina, Minggu (3/1)


Menurut Safrina, Adinda naik kelas karena memang di sekolah luar biasa (slb) setiap anak harus naik, tidak ada yang tinggal kelas, meski materi pelajaran tetàp sama, tidak diubah atau mungkin belum selesai.  Sistem ini diterapkan agar psikologi mereka terjaga. 

Masih menurut Safrina,  kecerdasan tidak  dinilai dari sisi akademik saja.  Misalnya sudah bisa menulis  atau membaca. Jika kecerdasan hanya  dinilai dari sisi akademik saja,  maka selamanya anak DS tidak bisa setara dengan yang lain.  

Dengan demikian, pihak yang berkompeten harus melihat kemampuan lain dari anak DS. Kecerdasan selalu bisa diukur, meski harus diulang dan atau diuji. Tidak demikian dengan insting.  Dalam kasus  Adinda dengan DS, bukan soal kecerdasan melainkan  insting.


Satu hal yang tidak bisa diabaikan dari beberapa anak DS adalah, mereka  tetap  memiliki  insting yang  baik dan punya ide kreatif. Misalnya, saat ingin menjangkau sesuatu yang sulit, mengambil kursi untuk  dapat menjangkaunya. Di satu sisi kecerdasan mereka di  bawah rata-rata, tapi di sisi lain punya inisiatif, atau  insting. 


Adapun mengapa  selama ini  Adinda tidak diajari menari di sekolahnya,  hal itu disebabkan  tidak ada guru menari karena sang guru keluar  dan  hingga saat ini belum ada pengganti. 

POTADS terbuka 

Di bagian lain, Ketua  Persatuan Orang Tua Anak Down Syndrome (POTADS) Yogyakarta, Sri Rejeki Ekasasi atau akrab disapa dengan nama Kiky, mengajak seluruh orangtua yang memiliki anak down syndrome di Kota Yogyakarta untuk bergabung dengan komunitasnya. "Kami memiliki program tetap yakni sharing, berbagi cara untuk mengasuh anak-anak istimewa. Karena itu siapa pun boleh bergabung dengan kami, ujar Kiky. Ia jelaskan pula, POTADS Yogyakarta yang berdiri sejak 2009, bersekretariat di Suryoputran PB II/172, Kelurahan Panembahan, Kecamatan  Kraton, Yogyakarta. Untuk mendapatkan informasi lebih  lanjut tentang POTADS, dapat  melalui nomer  WahtsApp  Group, di +62   858-7880-3377 atau +62 857-2500-6256.  (sri hartaning sih)

0 komentar:

Posting Komentar