Latest Post
Loading...

Selasa, 19 Januari 2016

Disabilitas dan Kepentingan Publik

Oleh : agoes widhartono

BAGAIMANA gambaran ideal negara mesti berperan dalam memfasilitasi kepentingan ramp dua meter, lebar 25 sentimeter dari karet tebal diramu baja putih, dibawa serta masinis itu. Ramp portabel yang bisa dilipat praktis, itu kemudian diletakkan di depan pintu masuk untuk si calon penumpang. Kursi roda kemudian berjalan mulus memasuki gerbong, melintasi ramp yang mulus itu,. Si penumpang kemudian menempati lokasi khusus yang memang sudah diperuntukkan bagi penyandang disabilitas, terutama yang menggunakan kursi roda. Lokasi khusus itu diberi tanda gambar kursi roda di lantai kereta.

publik bagi warganya, tanpa kecuali, termasuk para difabel?  Sore awal Oktober 2015, sebuah rangkaian kereta listrik Adelaide Metro, Australia, dengan tujuh gerbong berhenti di sebuah stasiun. Sang masinis, seorang diri keluar dari ruang kerjanya. Mesin kereta dibiarkan tetap menyala.Ia mendatangi calon penumpang, laki-laki  sekitar 40 tahun, yang duduk di kursi roda di emplasemen stasiun. Sebuah 

Setelah penumpang menempati posisi nyaman di dalam kereta, sang masinis melepaskan ramp kecil yang menghubungkan celah beton dan badan kereta selebar sekitar 15 sentimeter itu. Dia bawa masuk kembali ke ruang kemudi. Kemudian kereta kembali melaju meneruskan perjalanan yang masih tersisa selama 30 menit untuk mencapai tengah kota Adelaide, Austalia Selatan.

Demikianlah, kisah di atas benar-benar telah memberi gambaran ideal, bagaimana negara mesti berperan dalam memfasilitasi kepentingan publik bagi warganya, tanpa kecuali. Kesadaran personal yang terbukti seperti yang dilakukan sang masinis, adalah contoh  tentang kepedulian atas penyandang disabilitas tidak lagi perlu diajarkan, diteriakkan,  atau dikampanyekan oleh berbagai pihak. Namun begitu nyata diwujudkan. Sekadar catatan, Adelaide Metro adalah perusahaan angkutan publik yang dikelola oleh pemerintah Australia Selatan, di kota Adelaide. Dalam hal ini, sang masinis telah berperan penuh sebagai representasi negara, dalam fungsinya demi kepentingan publik. Dia tidak sekadar pegawai sebuah institusi penjual jasa angkutan. Dengan demikian, kesadaran penuh yang dimiliki kemudian diwujudkan dalam kinerja itu, bukan sekadar sebagai bagian kampanye pencitraan atau gimmick perusahaan belaka.
Di dalam gerbong, akan tersua di dinding sebuah peringatan sederhana namun penuh makna, berupa tulisan, yang kira-kira demikian: “utamakan penumpang penyandang disabilitas, orang tua, perempuan hamil dan orang yang membawa anak-anak”. Itu berarti, egoisme personal harus dikalahkan demi menegakkan kepentingan publik sekaligus menerapkan  etika publik di tengah kehidupan masyarakat dan realitas kehidupan sosial. 
Hal serupa juga didapati di dalam sebuah trem padat penumpang yang melata di tengah kesibukan jam kerja. Posisi tempat bagi penyandang disabilitas, berupa gambar dua kursi roda yang dipajang di lantai trem itu, tetap tidak digunakan oleh ratusan penumpang yang berjubel. Dengan kesadaran penuh, mereka tidak mau merampas hak penyandang disabilitas yang memang sudah diberikan itu, meski s area tersebut sedang tidak digunakan. Bahkan, sebuah toilet umum di pusat kota Adelaide, beri tulisan menggunakan huruf Braile. Tentu ini memudahkan difabel netra dalam mengakses toilet umum tersebut secara mandiri , tanpa bantuan orang lain. Di dalam toilet juga diberi penjelasan dlam bentuk audio dan tulisan (running text) tentang berapa lama seseorang bisa menggunakan toilet, posisi keran air dan bagaimana memperlakukan keran itu.
Semua itu memberi bukti bahwa warga negara sudah demikian sadar dalam menjalankan etika kepublikan mereka. Tanpa perlu diperintah, dengan rayuan  atau imbauan, kesadaran publik muncul dengan penuh takzim, menghargai hak setiap warga negara lain, dalam hal ini adalah hak para penyandang disabilitas. Layanan negara untuk memenuhi kepentingan publik bagi warga penyandang disabilitas, demikian nyata. Di dalam setiap bus kota yang lalu lalang, selalu dibubuhi peringatan berupa sticker untuk mengajak setiap warga negara selalu mendahulukan kepentingan warga difabel.

Selalu ironi
Boleh jadi, fakta di atas merupakan peristiwa biasa bagi sebuah entitas di sebuah negara maju. Namun, sekaligus juga bisa menjadi pelajaran atau bahkan gugatan bagi siapa pun yang dalam upaya mendambakan negara bisa menjamin penyelenggaraan kehidupan publik.
Peran negara dengan kekuatan pemaksa yang dimilikinya --kekuatan itu diperoleh berdasarkan mandat dari masyarakat-- harus mencegah terjadinya hegemoni, dominasi atau monopoli di ruang publilk. Kompetisi di ruang publik harus dikembalikan ke jalan semestinya, yakni berlangsung dengan menjadikan nilai yang disepakati sebagai acuan bersama. Negara harus berkompeten dan berwibawa sekaligus beretika. Untuk urusan kepentingan publik kehidupan warga negara di dalam ruang publik, maka sudah semestinyalah negara memberi fasilitas. Dengan demikian, tidak ada lagi pengecualian yang diakibatkan oleh kepentingan kapital maupun kekuatan sosial.
Pelayanan publik, khususnya bagi penyandang disabilitas, seperti kisah di atas, tentu menjadi sangat ironi jika dibandingkan dengan apa yang sudah dan sedang terjadi di negeri ini.  Banyak fakta membuktikan. Kesadaran negara, alih-alih kesadaran publik, atas hak setiap warga negara --dalam hal ini penyandang disabilitas—sampai sekarang masih terus mewarnai perdebatan pemikiran yang menimbulkan multitafsir lengkap dengan tarik ulur kepentingan. Di satu pihak negara mengatakan sudah berperan maksimal, namun di pihak lain masih terus lahir pertanyaan dan gugatan tentang di mana dan seperti apa peran telah diberikan. Berbagai program sosial kemasyarakatan, memang telah dilaksanakan melalui aneka regulasi, semisal peraturan daerah. Namun, berbagai celah masih terus tampak.
D Yogyakarta, misalnya, seperti dituturkan pejuang HAM bagi difabel, Setia Adi Purwanta, masyarakat difabel tidak dapat memenuhi haknya dalam beribadah karena hampir seluruh tempat ibadah didesain tidak ramah bagi mereka. Direktur Dria Manunggal itu mengimbuhkan, rumah ibadah didesain, misalnya dengan dibuat bertangga. Akibatnya tidak dapat diakses difabel yang memiliki hambatan mobilitas. Difabel tuli dan netra juga tidak dapat mengakses khotbah atau ceramah para pemuka agama. Beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan merupakan hak mendasar bagi tiap-tiap warga negara, tidak terkecuali  bagi  kelompok difabel. “Negara berkewajiban memberikan  perlindungan dan pemenuhan hak-hak terhadap warga negaranya tanpa kecuali,” kata Setia Adi Purwanta, dalam jumpa pers di kantornya, Kamis (14/1).

Historis
Dalam kehidupan berdemokrasi, kompetisi di ruang publik merupakan proses yang terus berlangsung. Ruang publik adalah sesuatu yang historis, tidak pernah stagnan atau mandeg. Dinamika akan berlangsung secara ideal apabila terjadi keseimbangan antara kekuatan pasar (market), civil society dan negara. Sedangkan etika pubik yang disepakati sebagai acuan nilai bersama (shared value) memungkinkan setiap pihak memiliki preferensi nilai dalam berinteraksi di ruang publik. Etika publik merupakan nilai-nilai yang menjadi acuan untuk berinteraksi di ruang publik. Etika publik harus muncul dari kesepakatan bersama, bersifat bottom up dan bukan top down. Sebagai hasil kesepakatan bersama, maka etika publik ini bersifat mengikat dan menjadi acuan bagi semua pihak untuk berinteraksi di ruang publik.
Sampai kini, meski sudah banyak hal diwujudkan demi berpihak pada kepetingan hak penyandang disabilitas, namun dalam urusan kepentingan publik saja, masih banyak pula persoalan yang mesti diselesaikan. Trotoar yang direbut paksa oleh kepentingan kapital, digunakan untuk kegiatan ekonomi. Pemberian informasi penting di tempat umum, stasiun kereta api, bandar udara, terminal bus umum, rumah sakit dan bank, misalnya, masih sangat minim. Itu semua adalah sedikit contoh tentang persoalan ini. Difabel tuli, netra atau daksa masih terus kesulitan untuk bisa memanfaatkan berbagai fasilitas umum itu dengan mandiri, akibat ketiadaan fasilitas negara sekadar untuk memberi informasi, misalnya.
Sebenarnya juga bukan suatu hal yang sulit untuk menerapkan etika kepublikan di tengah kehidupan masyarakat, terkhusus bagi pemenuhan hak penyandang disabilitas. Negara sebagai fasilitator semestinya tinggal melaksanakan apa yang dibutuhkan oleh penyandang disabilitas. Dengan demikian, masyarakat yang semula tidak atau belum sadar dan mengetahui akan adanya hak-hak itu, otomatis akan mendidik diri mereka sendiri kemudian menerapkan etika kepublikan, khususunya bagi penyandang disabilitas. (*)

0 komentar:

Posting Komentar