SEBUTAN dan BAHASA RELASI KEKUASAAN
Penyandang Cacat, Penyandang Disabilitas atau Difabel ?
Oleh Setia Adi
Purwanta
SEBUTAN terhadap sesuatu tidak dapat dilepaskan
dari efek penyebutan. Penggunaan sebutan dapat melahirkan beragam jenis dan intensitas keseriusan
efek. Penyebutan dapat
berefek penghormatan, keakraban, kecintaan, merendahkan,
penghinaan, bahkan diskriminasi. Untuk soal ini, kiranya ada beberapa hal
yang perlu dipahami.
Pertama, bahasa adalah kekuasaan. Menyebut berarti menunjukkan relasi kekuasaan.
Dengan demikian menyebut berarti memposisikan dan sekaligus mengkondisikan
pihak yang disebut. Pada saat yang memberikan sebutan adalah pihak yang
dikuasai, maka mereka akan menyebut yang bersifat menghormati pihak yang
disebut, atau pihak yang memberi sebutan memposisikan dan
mengkondisikan pihak yang disebut pada posisi yang dihormati. Tapi, jika yang memberi
sebutan adalah pihak yang berkuasa, maka mereka akan memberikan sebutan yang
memposisikan dan mengkondisikan pihak yang disebut lebih rendah atau bersifat
merendahkan, mengejek, melemahkan, bahkan mendiskriminasikan. Di sisi lain ada
pula sebutan yang
bebas dari relasi antara yang menguasai dan yang dikuasai. Untuk hal ini adalah sebutan yang
menyatakan kesetaraan posisi sosial di antara mereka
yang menggunakan sebutan. Mereka yang
dikenai dan yang mengenai sebutan saling merasa nyaman dengan penggunaan
sebutan yang mereka sepakati. Itulah sebutan yang
membangun kesetaraan posisi sosial.
Kedua adalah paham yang mendasari penyebutan. Dalam
wilayah relasi sosial setidaknya terdapat beberapa kelompok masyarakat yang
menganut paham berbeda satu dan lainnya.
Mereka
adalah masyarakat yang menganut paham konservatif, menganut paham liberal, dan mereka
yang menganut paham kesadaran kritis.
Paham dan penilaian
Pada masyarakat pertama, penganut paham konservatif, sangat
mengutamakan persoalan norma atau nilai yang telah diakui bersama kebenarannya. Selalu
mengedepankan kepatuhan, kesetiaan, menurut, tunduk, hormat, dan sejenisnya
terhadap norma atau nilai tersebut. Kelompok ini menganut kebenaran mengenai
adanya baik-buruk, pahala-dosa, perbuatan baik-karma, sopan-tidak sopan,
sempurna-tidak sempurna, dan sejenisnya. Para
penganut paham ini mempercayai bahwa “cacat” itu ada. “Cacat” atau ketidaknormalan
fisik ada karena merupakan takdir Tuhan, karma, hasil perbuatan buruk, dan
sejenisnya. Akibat kecacatan
ini, maka terjadilah
kekurangan, kelemahan, ketidakmampuan, dan sebagainya. Penganut paham ini menggunakan sebutan Penyandang
Cacat kepada kelompok yang dianggap memiliki ketidaknormalan fisik .
Sedangkan bagi masyarakat yang menganut paham liberal, memiliki cara pandang yang positivistik. Mereka selalu
beranggapan, segala gejala
yang ada di alam ini selalu didekati dengan hukum-hukum kebendaan yang
mengedepankan sifat-sifat umum benda. Analisis statistik yang digunakan oleh
penganut paham ini melahirkan kebenaran-kebenaran kuantitatif yang sampai
sekarang sangat berpengaruh luas di masyarakat.Hal ini ditunjukkan dengan
keyakinan adanya ideologi mayoritas-minoritas, umum-tidak umum, kuat-tidak
kuat, sehat-tidak sehat, normal-tidak normal, dan sejenisnya. Paham inilah yang mendasari pemikiran bahwa yang
mayoritas, umum, kuat, sehat, normal harus diposisikan lebih penting dan harus
didahulukan daripada mereka yang berkondisi kebalikannya. Para penganut paham ini mempercayai bahwa
“cacat” itu ada. “Cacat” iartikan sebagai kekurangmampuan yang disandang
seseorang akibat penyakit yang pernah diderita, keturunan (genetis), serta
kecelakaan, yang dalam melaksanakan kegiatan kehidupan sehari-hari
mendapatkan hambatan sosial dan lingkungan fisik. Kelompok yang demikian ini
oleh penganut paham liberal diberi sebutan Penyandang Disabilitas.
Adapun masyarakat yang menganut paham pendekatan kesadaran kritis beranggapan
bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan Tuhan dalam keadaan sempurna. Di antara manusia tidak ada yang lebih atau kurang
sempurna. Masing-masing manusia diciptakan dengan
kesempurnaannya sendiri-sendiri. Manusia diciptakan sebagai makhluk yang
unik, di antara mereka
tidak ada satu pun yang menyamai, memiliki kondisi yang berbeda satu dengan lainnya. Dengan
demikian kelompok ini sangat menghormati keberagaman latar belakang, kondisi,
potensi, dan kemampuan setiap individu
manusia. Manusia diciptakan dengan kondisi, potensi, dan kemampuan yang berbeda
antara satu dengan lainnya karena mereka harus menjalankan tugas hidup yang
berbeda pula. Kondisi fisik yang berbeda merupakan instrumen yang
dianugerahkan oleh Tuhan untuk menjalankan tugas hidupnya di dunia. Sehingga
penganut paham kesadaran kritis ini empercayai bahwa “cacat” itu
pada hakikatnya tidak
ada. “Cacat” itu menjadi ada karena diadakan dengan
mengkonstruksi pikir kebanyakan orang dengan cara memberi sebutan “cacat”,
memposisikan dan mengkondisikan sebagai orang cacat kepada orang yang dianggap
mempunyai kondisi fisik yang berbeda dari keadan manusia pada umumnya.
Celakanya, mereka yang mendapatkan sebutan, pemosisian, dan pengondisian
tersebut percaya bahwa dirinya “cacat”, maka kemudian jadilah bahwa “cacat” itu
ada. Proses pencacatan ini dilakukan oleh mereka yang merasa lebih kuasa
melakukan proses konstruksi sosial tersebut melalui jalur struktural dan
kultural.
Dengan landasan pikir yang demikianlah para
penganut paham kesadaran kritis lebih memilih menggunakan istilah difabel yang
merupakan pengindonesiaan dari
kata diffable (akronim Differently Able People), karena
kelompok ini lebih mengakui adanya perbedaan kemampuan daripada ketidakmampuan
atau kekurangmampuan pada manusia.
Memang setiap manusia mempunyai perbedaan
kemampuan. Tapi, apakah setiap
orang dapat disebut sebagai difabel? Tentu saja tidak. Penggunaan sebutan difabel hanya dipakai untuk mereka yang memiliki kondisi
fisik yang berbeda dengan kondisi fisik manusia pada umumnya sebagai suatu
identitas diri dalam memperjuangkan hak asasinya yang dilanggar akibat proses
pencacatan yang dikenakan kepada mereka.
Makna sebutan
Sebutan “penyandang cacat” yang digunakan oleh
para penganut atau mereka yang terpengaruh
paham konservatif mengandung makna bahwa yang menyebut meletakkan diri pada konotasi golongan
yang lebih baik daripada yang disebut. Demikian pula posisi atau strata sosialnya. Si pemberi sebutan
meletakkan diri sebagai kelompok yang lebih tinggi, lebih kuat, lebih mampu,dan
sejenisnya. Karena itulah kegiatan para penganut paham konservatif cenderung
berupa santunan, bantuan, amal, layanan dan sejenisnya, sehingga mereka
cenderung memposisikan pihak yang mendapat sebutan “penyandang cacat” sebagai
kelompok penerima santunan, penerima bantuan, penerima amal, dan penerima
layanan.
Konsep semacam ini memposisikan pihak yang
mendapat sebutan “penyandang cacat” sebagai fokus sasaran kegiatan yang
dilaksanakan oleh pihak yang memberi sebutan.
Sebutan “penyandang disabilitas yang digunakan
oleh penganut atau yang terpengaruh paham liberal yang positivistic, biasanya
dianut oleh mereka yang mengaku diri sebagai profesionalis atau intelektualis. Dalm hal ini, mengandung makn, mereka
meletakkan posisi sosial sebagai orang yang lebih “able” daripada yang “disable”.
Jadi mereka meletakkan diri sebagai orang yang lebih mampu, lebih bisa, dan
lebih kuat dari pada orang yang mereka beri sebutan “penyandang disabilitas”.
Kegiatan yang diadakan mereka namakan rehabilitasi di
berbagai
sektor, misalnya rehabilitasi fisik, psikologis, sosial, vokasional. Selain itu mereka juga melaksanakan kegiatan yang diberi nama pembinaan, bimbingan, dan sejenisnya. Karena itulah mereka meletakkan pihak
yang mendapat sebutan “penyandang disabilitas” sebagai warga binaan, client, atau bahkan pasien.
Konsep ini meletakkan mereka yang mendapat sebutan “penyandang disabilitas”
sebagai fokus sasaran garap dari kegiatan yang dilakukan oleh yang memberi
sebutan.
Kelompok penganut paham kesadaran kritis lebih
menghargai pilihan penggunaan sebutan yang dibangun sendiri oleh kelompok yang
menamakan diri sebagai kelompok “difabel” sebagai suatu identitas diri dalam
melakukan perjuangan melawan segala bentuk diskriminasi dan pelanggaran atas
hak asasinya, jadi benar-benar bukan merupakan salah satu bentuk eufimisme atau sekadar penghalusan sebutan. Penggunaan sebutan “difabel” oleh semua pihak
mengandung makna peletakan posisi atau strata sosial yang setara, dan sebagai
suatu bentuk pemihakan terhadap kelompok yang dimarginalkan dalam struktur dan
strata sosial.
Perlu dipahami bahwa penggunaan istilah
“difabel” merupakan suatu proses perlawanan sosial melalui bahasa dalam bentuk kontradiskursus
(kontra wacana). Sehingga
penggunaan istilah “difabel” juga merupakan upaya dekonstruksi sosial.
Kelompok penganut paham kesadaran kritis
beranggapan bahwa pada dasarnya para difabel mampu dan bisa. Mereka menjadi
tidak mampu, tidak bisa, tidak kuat, dan tidak berdaya karena tidak dimampukan,
tidak dibisakan, tidak dikuatkan, dan tidak diberdayakan oleh sistem sosial
yang diskriminatif. Oleh karenanya, penganut paham ini meletakkan fokus sasaran
garapnya pada para pemilik kekuasaan yang juga sebagai penentu kebijakan yang
dapat berpengaruh untuk mengubah sistem sosial yang diskriminatif. Selain itu juga masyarakat
yang kerangka berpikirnya telah terbingkai oleh paham yang mendiskriminasikan. Kegiatan yang dilakukan oleh kelompok ini
bersifat pendampingan, penguatan, dan pemberdayaan untuk bersama-sama melakukan
upaya advokasi untuk merebut kembali pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan
hak asasi mereka yang dihalangi, dibatasi, dilanggar, dan bahkan dihilangkan
untuk membangun kesejahteraan bersama
Dengan demikian, sebutan yang digunakan akan
menunjukkan pada golongan mana dan paham apa yang dianut, bagaimana memposisikan pihak yang disebut dan apa saja bentuk serta tujuan kegiatan
yang akan
dilakukan. Tentu
tidak berlebihan jika tulisan ini
ditutup dengan kalimat sebagai bahan perenungan: “memberi sebutan untuk
orang lain, berarti menyebut kualitas diri sendiri”. (*)
(Penulis adalah pemerhati Hak Asasi Difabel
tinggal di Yogyakarta)
0 komentar:
Posting Komentar