Latest Post
Loading...

Senin, 28 Desember 2015

SEBUTAN dan BAHASA RELASI KEKUASAAN


 SEBUTAN dan BAHASA RELASI KEKUASAAN
Penyandang Cacat, Penyandang Disabilitas atau Difabel ?

Oleh Setia Adi Purwanta

SEBUTAN terhadap sesuatu tidak dapat dilepaskan dari efek penyebutan. Penggunaan sebutan dapat melahirkan beragam jenis dan intensitas keseriusan efek. Penyebutan dapat berefek penghormatan, keakraban, kecintaan, merendahkan, penghinaan,   bahkan diskriminasi. Untuk soal ini, kiranya ada beberapa hal yang perlu dipahami.

Pertama, bahasa adalah kekuasaan. Menyebut berarti menunjukkan relasi kekuasaan. Dengan demikian menyebut berarti memposisikan dan sekaligus mengkondisikan pihak yang disebut. Pada saat yang memberikan sebutan adalah pihak yang dikuasai, maka mereka akan menyebut yang bersifat menghormati pihak yang disebut, atau pihak yang memberi sebutan  memposisikan dan mengkondisikan pihak yang disebut pada posisi yang dihormati. Tapi, jika yang memberi sebutan adalah pihak yang berkuasa, maka mereka akan memberikan sebutan yang memposisikan dan mengkondisikan pihak yang disebut lebih rendah atau bersifat merendahkan, mengejek, melemahkan, bahkan mendiskriminasikan.  Di sisi lain ada pula sebutan yang bebas dari relasi antara yang menguasai dan yang dikuasai. Untuk hal ini adalah sebutan yang menyatakan kesetaraan posisi sosial di antara mereka yang menggunakan sebutan. Mereka yang dikenai dan yang mengenai sebutan saling merasa nyaman dengan penggunaan sebutan yang mereka sepakati.  Itulah sebutan yang membangun kesetaraan posisi sosial.


Kedua adalah paham yang mendasari penyebutan. Dalam wilayah relasi sosial setidaknya terdapat beberapa kelompok masyarakat yang menganut paham berbeda satu dan lainnya.
Mereka adalah masyarakat yang menganut paham konservatif, menganut paham liberal, dan mereka yang menganut paham kesadaran kritis.

Paham dan penilaian

Pada masyarakat pertama, penganut paham konservatif, sangat mengutamakan persoalan norma atau nilai yang telah diakui bersama kebenarannya.  Selalu mengedepankan kepatuhan, kesetiaan, menurut, tunduk, hormat, dan sejenisnya terhadap norma atau nilai tersebut. Kelompok ini menganut kebenaran mengenai adanya baik-buruk, pahala-dosa, perbuatan baik-karma, sopan-tidak sopan, sempurna-tidak sempurna, dan sejenisnya. Para penganut paham ini mempercayai bahwa “cacat” itu ada. “Cacat” atau ketidaknormalan fisik ada karena merupakan takdir Tuhan, karma, hasil perbuatan buruk, dan sejenisnya. Akibat kecacatan ini, maka terjadilah kekurangan, kelemahan, ketidakmampuan, dan sebagainya. Penganut paham ini menggunakan sebutan Penyandang Cacat kepada kelompok yang dianggap memiliki ketidaknormalan fisik .

Sedangkan bagi masyarakat yang menganut paham liberal, memiliki cara pandang yang positivistik. Mereka selalu beranggapan, segala gejala yang ada di alam ini selalu didekati dengan hukum-hukum kebendaan yang mengedepankan sifat-sifat umum benda. Analisis statistik yang digunakan oleh penganut paham ini melahirkan kebenaran-kebenaran kuantitatif yang sampai sekarang sangat berpengaruh luas di masyarakat.Hal ini ditunjukkan dengan keyakinan adanya ideologi mayoritas-minoritas, umum-tidak umum, kuat-tidak kuat, sehat-tidak sehat, normal-tidak normal, dan sejenisnya. Paham inilah yang mendasari pemikiran bahwa yang mayoritas, umum, kuat, sehat, normal harus diposisikan lebih penting dan harus didahulukan daripada mereka yang berkondisi kebalikannya. Para penganut paham ini mempercayai bahwa “cacat” itu ada. “Cacat” iartikan sebagai kekurangmampuan yang disandang seseorang akibat penyakit yang pernah diderita, keturunan (genetis), serta kecelakaan,  yang dalam melaksanakan kegiatan kehidupan sehari-hari mendapatkan hambatan sosial dan lingkungan fisik. Kelompok yang demikian ini oleh penganut paham liberal diberi sebutan Penyandang Disabilitas.

Adapun masyarakat yang menganut paham pendekatan kesadaran kritis beranggapan bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan Tuhan dalam keadaan sempurna. Di antara manusia tidak ada yang lebih atau kurang sempurna. Masing-masing manusia diciptakan dengan kesempurnaannya sendiri-sendiri. Manusia diciptakan sebagai makhluk yang unik, di antara mereka tidak ada satu pun yang menyamai, memiliki kondisi yang berbeda satu dengan lainnya. Dengan demikian kelompok ini sangat menghormati keberagaman latar belakang, kondisi, potensi, dan kemampuan setiap individu manusia. Manusia diciptakan dengan kondisi, potensi, dan kemampuan yang berbeda antara satu dengan lainnya karena mereka harus menjalankan tugas hidup yang berbeda pula. Kondisi fisik yang berbeda merupakan instrumen yang dianugerahkan oleh Tuhan untuk menjalankan tugas hidupnya di dunia. Sehingga penganut paham kesadaran kritis ini empercayai bahwa  “cacat” itu pada hakikatnya tidak ada. “Cacat” itu menjadi ada karena diadakan dengan mengkonstruksi pikir kebanyakan orang dengan cara memberi sebutan “cacat”, memposisikan dan mengkondisikan sebagai orang cacat kepada orang yang dianggap mempunyai kondisi fisik yang berbeda dari keadan manusia pada umumnya. Celakanya, mereka yang mendapatkan sebutan, pemosisian, dan pengondisian tersebut percaya bahwa dirinya “cacat”, maka kemudian jadilah bahwa “cacat” itu ada. Proses pencacatan ini dilakukan oleh mereka yang merasa lebih kuasa melakukan proses konstruksi sosial tersebut melalui jalur struktural dan kultural.

Dengan landasan pikir yang demikianlah para penganut paham kesadaran kritis lebih memilih menggunakan istilah difabel yang merupakan pengindonesiaan dari kata diffable (akronim Differently Able People), karena kelompok ini lebih mengakui adanya perbedaan kemampuan daripada ketidakmampuan atau kekurangmampuan pada manusia.
Memang setiap manusia mempunyai perbedaan kemampuan. Tapi, apakah setiap orang dapat disebut sebagai difabel? Tentu saja tidak. Penggunaan sebutan difabel hanya dipakai untuk mereka yang memiliki kondisi fisik yang berbeda dengan kondisi fisik manusia pada umumnya sebagai suatu identitas diri dalam memperjuangkan hak asasinya yang dilanggar akibat proses pencacatan yang dikenakan kepada mereka.

Makna sebutan

Sebutan “penyandang cacat” yang digunakan oleh para penganut atau mereka yang terpengaruh paham konservatif mengandung makna bahwa yang menyebut meletakkan diri pada konotasi golongan yang lebih baik daripada yang disebut. Demikian pula posisi atau strata sosialnya. Si pemberi sebutan meletakkan diri sebagai kelompok yang lebih tinggi, lebih kuat, lebih mampu,dan sejenisnya. Karena itulah kegiatan para penganut paham konservatif cenderung berupa santunan, bantuan, amal, layanan dan sejenisnya, sehingga mereka cenderung memposisikan pihak yang mendapat sebutan “penyandang cacat” sebagai kelompok penerima santunan, penerima bantuan, penerima amal, dan penerima layanan.

Konsep semacam ini memposisikan pihak yang mendapat sebutan “penyandang cacat” sebagai fokus sasaran kegiatan yang dilaksanakan oleh pihak yang memberi sebutan.

Sebutan “penyandang disabilitas yang digunakan oleh penganut atau yang terpengaruh paham liberal yang positivistic,  biasanya dianut oleh mereka yang mengaku diri sebagai profesionalis atau intelektualis. Dalm hal ini, mengandung makn,  mereka meletakkan posisi sosial sebagai orang yang lebih “able” daripada yang “disable”. Jadi mereka meletakkan diri sebagai orang yang lebih mampu, lebih bisa, dan lebih kuat dari pada orang yang mereka beri sebutan “penyandang disabilitas”.
Kegiatan yang diadakan mereka namakan rehabilitasi di 
berbagai sektor, misalnya rehabilitasi fisik, psikologis, sosial, vokasional. Selain itu mereka juga melaksanakan kegiatan yang diberi nama pembinaan, bimbingan, dan sejenisnya. Karena itulah mereka meletakkan pihak yang mendapat sebutan “penyandang disabilitas” sebagai warga binaan, client, atau bahkan pasien.

Konsep ini meletakkan mereka yang mendapat sebutan “penyandang disabilitas” sebagai fokus sasaran garap dari kegiatan yang dilakukan oleh yang memberi sebutan.

Kelompok penganut paham kesadaran kritis lebih menghargai pilihan penggunaan sebutan yang dibangun sendiri oleh kelompok yang menamakan diri sebagai kelompok “difabel” sebagai suatu identitas diri dalam melakukan perjuangan melawan segala bentuk diskriminasi dan pelanggaran atas hak asasinya, jadi benar-benar bukan merupakan salah satu bentuk eufimisme atau sekadar penghalusan sebutan. Penggunaan sebutan “difabel” oleh semua pihak mengandung makna peletakan posisi atau strata sosial yang setara, dan sebagai suatu bentuk pemihakan terhadap kelompok yang dimarginalkan dalam struktur dan strata sosial.
Perlu dipahami bahwa penggunaan istilah “difabel” merupakan suatu proses perlawanan sosial melalui bahasa dalam bentuk kontradiskursus (kontra wacana). Sehingga penggunaan istilah “difabel” juga merupakan upaya dekonstruksi sosial.

Kelompok penganut paham kesadaran kritis beranggapan bahwa pada dasarnya para difabel mampu dan bisa. Mereka menjadi tidak mampu, tidak bisa, tidak kuat, dan tidak berdaya karena tidak dimampukan, tidak dibisakan, tidak dikuatkan, dan tidak diberdayakan oleh sistem sosial yang diskriminatif. Oleh karenanya, penganut paham ini meletakkan fokus sasaran garapnya pada para pemilik kekuasaan yang juga sebagai penentu kebijakan yang dapat berpengaruh untuk mengubah sistem sosial yang diskriminatif. Selain itu juga masyarakat yang kerangka berpikirnya telah terbingkai oleh paham yang mendiskriminasikan. Kegiatan yang dilakukan oleh kelompok ini bersifat pendampingan, penguatan, dan pemberdayaan untuk bersama-sama melakukan upaya advokasi untuk merebut kembali pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan hak asasi mereka yang dihalangi, dibatasi, dilanggar, dan bahkan dihilangkan untuk membangun kesejahteraan bersama

Dengan demikian, sebutan yang digunakan akan menunjukkan pada golongan mana dan paham apa yang dianut, bagaimana memposisikan pihak yang disebut dan apa saja bentuk serta tujuan kegiatan yang akan dilakukan. Tentu tidak berlebihan jika tulisan ini  ditutup dengan kalimat sebagai bahan perenungan: “memberi sebutan untuk orang lain, berarti menyebut kualitas diri sendiri”. (*)

(Penulis adalah pemerhati Hak Asasi Difabel

tinggal di Yogyakarta)

0 komentar:

Posting Komentar