Latest Post
Loading...

Senin, 04 Januari 2016

Penerjemah Bahasa Isyarat sebagai Jembatan Komunikasi

Penerjemah Bahasa Isyarat
sebagai Jembatan Komunikasi

BAHASA sebagai sarana berkomunikasi, saling bertukar informasi, hanya bisa berjalan jika masing-masing pihak memahami bahasa yang digunakan. Keragaman bahasa tidak memungkinkan orang dapat  menguasai seluruhnya. Dalam hal inilah peran  penerjemah  bahasa sangat dibutuhkan, sebagai jembatan perbedaan bahasa. Tentu bertujuan agar informasi dapat dipahami dengan baik, lengkap dan nyaman.

Akan halnya soal keragaman bahasa, diketahui bahwa tiap negara memiliki bahasa daerah dan bahasa  nasionalnya  masing-masing.   Namun, ada satu hal yang perlu diketahui adalah, bahasa sesungguhnya tidak hanya  yang berupa tutur  kata, tetapi juga bahasa tubuh (gesture) atau bahasa isyarat (sign langauge) yang digunakan oleh  kelompok masyarakat tidak mendengar (tuli).


Tuli terdiskriminasi

Hingga  saat ini, masyarakat  tuli (deaf) pengguna  bahasa isyarat ini masih merupakan kelompok minoritas,. Mereka terdiskriminasi dan hak untuk mendapatkan dan menyampaikan informasi masih terabaikan, belum sepenuhnya diperhatikan.

Lantas, di mana letak keminoritasan dan atau diskriminasi bagi kaum tuli itu? Sebuah contoh, masyarakat mendengar (hearing people),  bisa menikmati dengan baik melalui indera pendengaran, memahami dan berinteraksi ketika menyaksikan siaran  televisi dan  kanal You Tube, misalnya. Namun, tidak demikian dengan kaum tuli (deaf).  Mengapa? Karena semua program acara tidak aksesibel bagi mereka, yang kehilangan pendengaran. Belum lagi ketika meraka mengakses  tempat ibadah, misalnya harus  mendengarkan khotbah di  masjid,  mengikuti misa di gereja,  ceramah di  kelenteng,  vihara. Itu  hanya sedikit contoh. Masih banyak hal lain. Misalnya ketika mereka bersekolah, mendapatkan hak dalam pelayanan publik, transportasi dan sebagainya.

Untuk menganalogikan persoalan bahasa bagi kaum tuli, barangkali sama ketika sekelompok orang mendengar yang berkomunikasi dengan bahasa  berbeda. Tentu saja komunikasi tidak “nyambung”. Selain  bingung,  juga ada keterasingan di sana. Tidak berguna, menderita.  Itu  pulalah yang dirasakan oleh kelompok atau masyarakat tuli ketika berada di tengah masyarakat mendengar.

Sama seperti ketika pemerintah atau instansi menerima  kunjungan orang asing,  selalu dan sudah disiakan sebelumnya, penerjemah bahasa di  sana.  Itu pula  yang dibutuhkan  oleh  kelompok  atau masyarakat  tuli.  Dan sudah semestinyalah penerjemah bahasa juga diberikan bagi  kaum tuli.  Mereka juga membutuhkan  penerjemah bahasa.   Pada dasarnya, proses penerjemahan bukan hanya sebuah proses alih bahasa semata namun juga transfer makna. Tuli juga harus diberi penerjemah yang bisa mengalih-bahasakan dari bahasa  isyarat dan  gerak  tubuh  menjadi bahasa yang sederhana namun tetap tidak mengurangi makna yang terkandung di dalamnya. (Sri Hartaning)

0 komentar:

Posting Komentar