Penerjemah Bahasa Isyarat
sebagai Jembatan Komunikasi

Akan halnya soal keragaman bahasa, diketahui bahwa tiap negara memiliki bahasa daerah dan bahasa nasionalnya masing-masing. Namun, ada satu hal yang perlu diketahui adalah, bahasa sesungguhnya tidak hanya yang berupa tutur kata, tetapi juga bahasa tubuh (gesture) atau bahasa isyarat (sign langauge) yang digunakan oleh kelompok masyarakat tidak mendengar (tuli).
Tuli terdiskriminasi
Hingga saat ini, masyarakat tuli (deaf) pengguna bahasa isyarat ini masih merupakan kelompok minoritas,. Mereka terdiskriminasi dan hak untuk mendapatkan dan menyampaikan informasi masih terabaikan, belum sepenuhnya diperhatikan.
Lantas, di mana letak keminoritasan dan atau diskriminasi bagi kaum tuli itu? Sebuah contoh, masyarakat mendengar (hearing people), bisa menikmati dengan baik melalui indera pendengaran, memahami dan berinteraksi ketika menyaksikan siaran televisi dan kanal You Tube, misalnya. Namun, tidak demikian dengan kaum tuli (deaf). Mengapa? Karena semua program acara tidak aksesibel bagi mereka, yang kehilangan pendengaran. Belum lagi ketika meraka mengakses tempat ibadah, misalnya harus mendengarkan khotbah di masjid, mengikuti misa di gereja, ceramah di kelenteng, vihara. Itu hanya sedikit contoh. Masih banyak hal lain. Misalnya ketika mereka bersekolah, mendapatkan hak dalam pelayanan publik, transportasi dan sebagainya.
Untuk menganalogikan persoalan bahasa bagi kaum tuli, barangkali sama ketika sekelompok orang mendengar yang berkomunikasi dengan bahasa berbeda. Tentu saja komunikasi tidak “nyambung”. Selain bingung, juga ada keterasingan di sana. Tidak berguna, menderita. Itu pulalah yang dirasakan oleh kelompok atau masyarakat tuli ketika berada di tengah masyarakat mendengar.
Sama seperti ketika pemerintah atau instansi menerima kunjungan orang asing, selalu dan sudah disiakan sebelumnya, penerjemah bahasa di sana. Itu pula yang dibutuhkan oleh kelompok atau masyarakat tuli. Dan sudah semestinyalah penerjemah bahasa juga diberikan bagi kaum tuli. Mereka juga membutuhkan penerjemah bahasa. Pada dasarnya, proses penerjemahan bukan hanya sebuah proses alih bahasa semata namun juga transfer makna. Tuli juga harus diberi penerjemah yang bisa mengalih-bahasakan dari bahasa isyarat dan gerak tubuh menjadi bahasa yang sederhana namun tetap tidak mengurangi makna yang terkandung di dalamnya. (Sri Hartaning)
0 komentar:
Posting Komentar