ANAK dengan down syndrome (DS) merupakan
anak dengan kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental yang
disebabkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Terdapat
kelebihan kromosom (extracromosome) pada pasangan
kromosom ke-21, hingga sindrom ini sering juga disebut dengan istilah “trisomy 21”.
Kondisi abnormal tersebut berdampak pada perkembangan
motorik dan kognitif anak. Berbagai kelainan seringkali
menyertai mereka sebagai akibat penyimpangan kromosom tersebut.
Dalam sebuah situs, http://www.parenting.co.id/article/article_detail.asp?catid=2&id=10,
dituliskan bahwa down syndrome memiliki
tiga karakter khas, yaitu secara intelektual rendah, secara
mental mereka terbelakang, dan secara
fisik mereka lemah, karena beberapa penyakit yang menyertainya.
Bagaimana pun kondisi anak dengan down syndrome, mereka memiliki hak yang sama sebagaimana anak pada
umumnya. Mereka berhak atas layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kondisi
dan kebutuhannya. Di antara mereka ada
yang mampu didik, ada pula
yang mampu latih.
Mampu didik maksudnya adalah anak
masih bisa dididik membaca dan menulis. Meski
dibutuhkan proses panjang, sabar dan diulang-ulang. Sedangkan mampu latih, anak
dapat dilatih supaya mandiri, bahkan bisa berprestasi. Hal tersebut sangat
mungkin apabila anak down syndrome tersebut mendapatkan pelayanan
secara khusus dan tepat di rumah maupun di sekolah. Orangtua
memainkan peran penting dalam membantu anak-anak down syndrome mencapai
potensi terbaiknya.
Tantangan
Pada kenyataannya, mereka kesulitan mendapatkan hak atas
pendidikan. Tidak banyak sekolah yang memberikan tempat (menerima) anak-anak
dengan down syndrome. Kalau pun ada,
sekolah belum siap dengan sumber daya manusianya. Belum ada guru yang mampu
mendampingi anak-anak dengan DS, sehingga anak DS di sekolah inklusi belum
mendapatkan hak belajar sesuai dengan kebutuhan. Mereka mengalami diskriminasi,
mendapatkan perlakuan berbeda.
Dalam sebuah diskusi, beberapa orang tua anak dengan down syndrome
mengutarakan betapa sulit mendapatkan sekolah bagi anak-anak mereka.
Kebimbangan, kecemasan, bahkan ketakutan ditolak, mewarnai diskusi para orang
tua anak dengan syndrome down.
Keinginan mereka menyekolahkan anak-anaknya di sekolah inklusi dan juga di
sekolah luar biasa (SLB) tentu bukan tanpa alasan. Mereka ingin memberikan
pendidikan formal sebagaimana anak-anak pada umumnya.
Hal tersebut menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi para
orang tua dengan anak down syndrome.
Sehingga untuk mewujudkan keinginan dan harapan, mereka melakukan survei di sekolah-sekolah
yang bisa menerima anak-anak down
syndrome. Tidak mudah mendapatkan hak dasar, yakni pendidikan, bagi
anak-anak down syndrome. Kalau pun
mereka diterima, di sekolah negeri maupun swasta, para orang tua harus membayar
sejumlah uang yang nilainya cukup besar.
Salah seorang orang tua anak down syndrome baru-baru ini, kepada penulis berkisah,
untuk memberikan kesempatan anaknya bersekolah pada sebuah sekolah dasar negeri
dasar inklusi, dia harus membayar biaya observasi sebesar Rp. 370.000, uang pangkal Rp. 750.000 dan membayar honor guru
pendamping (shadow teacher) sebesar Rp. 1.200.000 setiap bulan. Di
lain pihak, anak-anak pada umumnya yang bersekolah di SD tentu bebas biaya
pendidikan. Sang anak, saat ini duduk di kelas satu SDN Sampangan, Bantul. Dia didampingi
shadow teacher setiap hari. “Biaya
guru pendamping setiap bulannya lebih dari satu juta rupiah, karena setiap hari
mendampingi anak saya, Nathan. Belum biaya observasi dan uang pangkal itu,” ujar
Siwi Susilaningrum, orang tua Nathan Trysthan Purwadi (8).
Menurut Siwi Susilaningrum, jika mengandalkan guru pendamping
dari dinas pendidikan, sang guru hanya datang seminggu satu atau dua kali.
Untuk itu dia rela membayar lebih, dengan harapan anaknya mendapatkan perhatian
dan pendampingan intensif, dapat dipantau perkembangannya setiap hari.
Namun demikian, tidak begitu saja harapannya dapat terwujud.
Tidak jarang, guru pendamping mengeluhkan kondisi Nathan. Bukan karena sudah
membayar, menurut Siwi, guru pendamping tentunya tidak untuk mengeluh dan “wadul” tentang kondisi putranya. Melainkan,
harapan Siwi, sang guru itu bisa membantu menyelesaikan hambatan bagi Nathan yang
terjadi baik di kelas-sekolah, menemukan dan memberikan solusi.
Kelas
transisi
Sejalan dengan perkembangan layanan pendidikan
sekolah inklusi, akan ideal jika dibarengi adanya model kelas transisi yang
menyatu dengan sistem pembelajaran di sekolah Inklusi. Model pembelajaran di
sekolah inklusi yang menekankan pada keterpaduan penuh, menghilangkan
labelisasi anak dengan prinsip “education
for all” dinilai lebih humanis.
Melihat kenyataan adanya
hambatan yang menyertai anak-anak dengan down
syndrome, model kelas transisi atau kelas adaptasi di
sekolah bernafas inklusi menjadi sebuah solusi.
Kelas transisi, yang sedapat mungkin berada di
dalam sekolah inklusi. Sebuah kelas persiapan dan pengenalan, menggunakan
metode pengajaran yang disesuaikan dengan kurikulum yang dimodifikasi sesuai
kebutuhan anak. Dengan demikian, pada saat-saat tertentu anak dapat bersosialisasi
dengan anak lain. Dengan tujuan, agar anak dengan down syndrome dapat terpenuhi hak-haknya.
Sehingga model pendidikan inklusi lebih dipilih
oleh orang tua anak berkebutuhan khusus. Selain menghilangkan labelisasi,
kesempatan bersosialisasi dengan anak-anak pada umumnya dan mendapatkan
pendidikan yang lebih baik menjadi alasan orang tua memilih menyekolahkan
anaknya di sekolah inklusi.
Dengan
adanya kelas transisi, diharapkan guru dapat memahami secara terperinci
karakteristik perilaku serta kebutuhan khusus anak down syndrome. Misalnya, kesulitan
atau ketidakmampuan mereka dibanding anak-anak lain seusianya, mengetahui apa
yang masih dapat dilakukan, apa kelebihan dan potensi, serta kecenderungan
emosi dan perilaku anak down syndrome.
(sri hartaning sih)
0 komentar:
Posting Komentar