Latest Post
Loading...

Selasa, 08 November 2016

Down Syndrome, Tantangan dan Harapan

ANAK dengan down syndrome (DS) merupakan anak dengan kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental yang disebabkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Terdapat kelebihan kromosom (extracromosome) pada pasangan kromosom ke-21, hingga sindrom ini sering juga disebut dengan istilah “trisomy 21”.
Kondisi abnormal tersebut berdampak pada perkembangan motorik dan kognitif anak. Berbagai kelainan seringkali menyertai mereka sebagai akibat penyimpangan kromosom tersebut.
Dalam sebuah situs, http://www.parenting.co.id/article/article_detail.asp?catid=2&id=10, dituliskan bahwa down syndrome memiliki tiga karakter khas, yaitu secara intelektual rendah, secara mental mereka terbelakang, dan secara fisik mereka lemah, karena beberapa penyakit yang menyertainya.

Bagaimana pun kondisi anak dengan down syndrome, mereka memiliki hak yang sama sebagaimana anak pada umumnya. Mereka berhak atas layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhannya. Di antara mereka ada yang  mampu didik, ada pula yang mampu latih.
Mampu didik maksudnya adalah anak masih bisa dididik membaca dan menulis.  Meski dibutuhkan proses panjang, sabar dan diulang-ulang. Sedangkan mampu latih, anak dapat dilatih supaya mandiri, bahkan bisa berprestasi. Hal tersebut sangat mungkin apabila anak down syndrome tersebut mendapatkan pelayanan secara khusus dan  tepat di rumah maupun di sekolah. Orangtua memainkan peran penting dalam membantu anak-anak down syndrome mencapai potensi terbaiknya. 
Tantangan
Pada kenyataannya, mereka kesulitan mendapatkan hak atas pendidikan. Tidak banyak sekolah yang memberikan tempat (menerima) anak-anak dengan down syndrome. Kalau pun ada, sekolah belum siap dengan sumber daya manusianya. Belum ada guru yang mampu mendampingi anak-anak dengan DS, sehingga anak DS di sekolah inklusi belum mendapatkan hak belajar sesuai dengan kebutuhan. Mereka mengalami diskriminasi, mendapatkan perlakuan berbeda.
Dalam sebuah diskusi, beberapa orang tua anak dengan down syndrome  mengutarakan betapa sulit mendapatkan sekolah bagi anak-anak mereka. Kebimbangan, kecemasan, bahkan ketakutan ditolak, mewarnai diskusi para orang tua anak dengan syndrome down. Keinginan mereka menyekolahkan anak-anaknya di sekolah inklusi dan juga di sekolah luar biasa (SLB) tentu bukan tanpa alasan. Mereka ingin memberikan pendidikan formal sebagaimana anak-anak pada umumnya.
Hal tersebut menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi para orang tua dengan anak down syndrome. Sehingga untuk mewujudkan keinginan dan harapan, mereka melakukan survei di sekolah-sekolah yang bisa menerima anak-anak down syndrome. Tidak mudah mendapatkan hak dasar, yakni pendidikan, bagi anak-anak down syndrome. Kalau pun mereka diterima, di sekolah negeri maupun swasta, para orang tua harus membayar sejumlah uang yang nilainya cukup besar.
Salah seorang orang tua anak down syndrome baru-baru ini, kepada penulis berkisah, untuk memberikan kesempatan anaknya bersekolah pada sebuah sekolah dasar negeri dasar inklusi, dia harus membayar biaya observasi sebesar Rp. 370.000,  uang pangkal Rp. 750.000 dan membayar honor guru pendamping (shadow teacher) sebesar Rp. 1.200.000 setiap bulan. Di lain pihak, anak-anak pada umumnya yang bersekolah di SD tentu bebas biaya pendidikan. Sang anak, saat ini duduk di kelas satu SDN Sampangan, Bantul. Dia didampingi shadow teacher setiap hari. “Biaya guru pendamping setiap bulannya lebih dari satu juta rupiah, karena setiap hari mendampingi anak saya, Nathan. Belum biaya observasi dan uang pangkal itu,” ujar Siwi Susilaningrum, orang tua Nathan Trysthan Purwadi (8).
Menurut Siwi Susilaningrum, jika mengandalkan guru pendamping dari dinas pendidikan, sang guru hanya datang seminggu satu atau dua kali. Untuk itu dia rela membayar lebih, dengan harapan anaknya mendapatkan perhatian dan pendampingan intensif, dapat dipantau perkembangannya setiap hari.
Namun demikian, tidak begitu saja harapannya dapat terwujud. Tidak jarang, guru pendamping mengeluhkan kondisi Nathan. Bukan karena sudah membayar, menurut Siwi, guru pendamping tentunya tidak untuk mengeluh dan “wadul” tentang kondisi putranya. Melainkan, harapan Siwi, sang guru itu bisa membantu menyelesaikan hambatan bagi Nathan yang terjadi baik di kelas-sekolah, menemukan dan memberikan solusi.
Kelas transisi
Sejalan dengan perkembangan layanan pendidikan sekolah inklusi, akan ideal jika dibarengi adanya model kelas transisi yang menyatu dengan sistem pembelajaran di sekolah Inklusi. Model pembelajaran di sekolah inklusi yang menekankan pada keterpaduan penuh, menghilangkan labelisasi anak dengan prinsip “education for all” dinilai lebih humanis.
Melihat kenyataan adanya hambatan yang menyertai anak-anak dengan down syndrome, model kelas transisi atau kelas adaptasi di sekolah bernafas inklusi menjadi sebuah solusi.
Kelas transisi, yang sedapat mungkin berada di dalam sekolah inklusi. Sebuah kelas persiapan dan pengenalan, menggunakan metode pengajaran yang disesuaikan dengan kurikulum yang dimodifikasi sesuai kebutuhan anak. Dengan demikian, pada saat-saat tertentu anak dapat bersosialisasi dengan anak lain. Dengan tujuan, agar anak dengan down syndrome dapat terpenuhi hak-haknya.
Sehingga model pendidikan inklusi lebih dipilih oleh orang tua anak berkebutuhan khusus. Selain menghilangkan labelisasi, kesempatan bersosialisasi dengan anak-anak pada umumnya dan mendapatkan pendidikan yang lebih baik menjadi alasan orang tua memilih menyekolahkan anaknya di sekolah inklusi.

Dengan adanya kelas transisi, diharapkan guru dapat memahami secara terperinci karakteristik perilaku serta kebutuhan khusus anak down syndrome. Misalnya, kesulitan atau ketidakmampuan mereka dibanding anak-anak lain seusianya, mengetahui apa yang masih dapat dilakukan, apa kelebihan dan potensi, serta kecenderungan emosi dan perilaku anak down syndrome. (sri hartaning sih

0 komentar:

Posting Komentar