SUASANA Pendopo Rumah Dinas
Bupati Wonogiri pagi itu, Jumat (10/3) semarak. Ratusan kursi ditata setengah
lingkaran. Sejak pukul 08.00 WIB,
sedikitnya 100 orang tua dengan anak berkebutuhan khusus (ABK) sudah siap, duduk
di kursi empuk berwarna merah itu. Para orang tua ABK itu hadir untuk memenuhi
undangan Tim Penggerak PKK (TP PKK) Kabupaten Wonogiri yang menggelar sarasehan
bertajuk momong cerdas bagi Orang tua dengan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) se-Kabupaten
Wonogiri.
Selain 100 orangtua ABK, hadir pula kepala
dinas sosial kabupaten Wonogiri, 25 istri camat se-Kabupaten Wonogiri, para
tenaga kerja sosial kecamatan (TKSK), serta pengurus dan anggota PKK. Ini adalah kali pertama sarasehan bagi orang
tua ABK se-Kabupaten Wonogiri digelar, bekerja sama dengan Kelompok Perspektif Yogyakarta.
Kepada hadirin, Ketua TP PKK Kabupaten
Wonogiri, Verawati Joko Sutopo, menekankan kepada seluruh orang tua dengan ABK
agar mereka bangga pada anak-anaknya dan tidak perlu malu. Sarasehan digelar,
kata Verawati, bukan untuk membongkar aib keluarga. “Melainkan agar para
orangtua dengan ABK di Wonogiri terbuka, mau belajar, saling bertukar pikiran
dan pengalaman, serta paham kondisi anak-anaknya agar dapat memenuhi
kebutuhannya,” tutur istri Bupati Wonogiri, Joko Sutopo itu.
Verawati mengimbau, “Mari mendampingi
(momong) anak-anak kita dengan cara cerdas, menyayangi anak-anak kita, bukan
mengasihani. Rasa kasihan kita justru akan mengambil hak-hak mereka, hak mereka
untuk menjadi mandiri, menjadi dirinya sendiri, juga dalam mengembangkan
potensi,” ujarnya. Menurut Vera, lain anak pasti lain pula masalahnya,
kebutuhan, serta pendampingannya. Demikian pula bagi orang tua dengan anak
difabel, dengan kondisi berbeda jenis difabelnya tentu berbeda pula kebutuhan
dan cara mendampingi. “Jadilah mata bagi
mereka yang buta, menjadi telinga bagi mereka yang tuli, menjadi kaki bagi
mereka yang idak mampu berjalan, demi untuk menyiapkan masa depan anak-anak
istimewa. Mari menjadi tahu apa yang dibutuhkan anak-anak kita. Berjalan
sedikit di depan, untuk menyajikan informasi bagi mereka. Menawarkan
pilihan-pilahan, yang dapat dilakukan anak kita sesuai dengan kemampuannya. Itu
yang semestinya dilakukan oleh orangtua,” ujar Verawati Joko Sutopo, Ketua TP
PKK Wonogiri itu.
Harapan baru
Ratusan orangtua ABK yang datang dari
berbagai penjuru Kabupaten Wonogiri, itu mengaku senang dan lega dengan
diadakannya sarasehan tersebut. Mereka merasa memiliki harapan, karena kini ada
memperhatikan mereka.
Seorang ibu, Siti Muslimah, pensiunan guru
SD yang memiliki tiga anak, dua di antaranya difabel, bertutur tentang kedua
anaknya yang difabel. Dia bercerita tentang putrinya yang mengalami depresi
akibat pelecehan seksual saat belajar di sebuah pusat pelatihan di Temanggung.
Dikisahkan pula tentang putra sulungnya yang kemampuan intelektualnya berangsur
menurun karena mengonsumsi obat-obatan selama bertahun-tahun, juga karena
depresi. Siti Muslimah berharap, dia mendapatkan solusi atas permasalahan yang
dihadapi dalam membersamai kedua anaknya yang difabel yang kini berusia lebih
dari 30 tahun, namun belum juga mandiri.
Menanggapi hal tersebut Ketua TP PKK
Wonogiri, Verawati, berjanji akan menindaklanjuti harapan dan keinginan orang
tua dengan ABK yang disampaikan melalui sarasehan tersebut. Untuk itu diagendakan
pertemuan lanjutan sebagai langkah konkret untuk mewujudkan rencana tindakan.
Kesatuan jiwa utuh
Pada bagian lain, Ketua Perspektif Yogyakarta, Sri Hartaningsih,
memaparkan pentingnya melihat difabel sebagai satu kesatuan jiwa yang utuh.
Difabel memiliki hak yang sama dengan orang pada umumnya. Dengan cara tersebut,
diharapkan hak-hak difabel dapat dilihat setara dengan non difabel. Baik dalam
pendidikan, kesehatan, pekerjaan, berolahraga, berwisata, perlindungan hukum
dan hak-hak lainnya.
Di hadapan ratusan hadirin, Sri
Hartaningsih menyuguhkan slide yang
menjelaskan tentang anak-anak difabel dan orang tua mereka yang tergabung dalam
Kelompok Perspektif Yogyakarta saling
bekerja sama dalam berkegiatan. Berkesenian, sebagai cara untuk membangun
mental, mandiri sekaligus terapi. Dijelaskan pula tentang kesempatan yang
diberikan oleh kelompok Perspektif,
difabel yang mengoptimalkan kesempatan dengan dukungan orang tua. Dengan
kesempatan dan dukungan telah mengantarkan anak-anak difabel anggota Perspektif menjadi percaya diri, berani,
kreatif dan inovatif.
Menggeser paradigma
Sri Hartaningsih menekankan agar cara
pandang negatif yang berkembang di tengah masyarakat, bahwa difabel adalah orang
yang tidak mampu, aib bagi keluarga, beban, najis, bahkan kutukan, kini harus
segera digeser. Bahkan pandangan itu harus dihilangkan dari tataran kehidupan
sosial. Pandangan negatif tersebut
membatasi, juga menghilangkan kesempatan bagi difabel dalam bersosialisasi. Tak
jarang karena keluarga merasa malu, difabel itu disembunyikan dan hak-hak hidup
mereka dipasung. “Difabel sama seperti
yang lainnya, mampu melakukan apa saja. Pengakuan dari orangtua, kesempatan,
dukungan, dan aksesibilitas sesuai dengan kebutuhan yang akan mengantarkan
mereka mampu untuk melakukan apa saja,” tuturnya. Keterlibatan semua pihak,
yakni keluarga, masyarakat, dan kehadiran negara sangat dibutuhkan. Solusi atas
permasalahan dan pemenuhan hak-hak difabel tentu bukan hanya menjadi wewenang Dinas Sosial, namun juga
organisasi perangkat daerah (OPD) lainnya. Mengapa? Karena hak difabel sama
dengan hak manusia pada umumnya. Namun karena keterbatasan yang menyertainya,
difabel membutuhkan alat bantu dalam mengakses layanan publik. Mereka
membutuhkan aksesibilitas baik fisik maupun non fisik yang aksesibel.
Hartaningsih juga menggaris-bawahi, orang tua dan masyarakat perlu mengubah
paradigma atau cara pandang mengenai anak difabel. “Difabel bukan orang yang tidak mampu, bukan
juga beban. Menjadi tidak mampu dan menjadi beban, ketika mereka hanya
dikasihani dan tidak diberi kesempatan,” ujar dia.
Demi memberi semangat peserta sarasehan,
dipaparkan pula kisah tentang Nick Vujicic, seorang difabel tanpa lengan dan tanpa
kaki, asal Australia, yang berhasil menjadi seorang motivator dan meraih
pendidikan tinggi. Nick mampu memiliki kehidupan layaknya orang pada umumnya
untuk melakukan segalanya.
Peserta sarasehan disuguhi tayangan video
tentang Nick Vujicic dengan tujuan untuk meyakinkan para orang tua bahwa
difabel mampu melakukan apa pun. Setiap keberhasilan yang diraih adalah hasil
usaha keras masing-masing pribadi. Hal tersebut tidak terlepas dari upaya orang
tua dalam mendampingi anak-anaknya. “Bersyukur
atas apa yang dimiliki, tidak perlu
melihat apa yang orang lain miliki. Lakukan yang terbaik sesuai dengan
kemampuan, optimalkan apa yang telah Tuhan berikan. Selamat momong cerdas,
mengantarkan anak-anak difabel menjadi anak yang mandiri,” tutur Ketua Perspektif Yogyakarta itu. (awd)
0 komentar:
Posting Komentar