Latest Post
Loading...

Senin, 13 Maret 2017

“Perspektif” Berbagi pada Sarasehan di Kabupaten Wonogiri

SUASANA Pendopo Rumah Dinas Bupati Wonogiri pagi itu, Jumat (10/3) semarak. Ratusan kursi ditata setengah lingkaran.  Sejak pukul 08.00 WIB, sedikitnya 100 orang tua dengan anak berkebutuhan khusus (ABK) sudah siap, duduk di kursi empuk berwarna merah itu. Para orang tua ABK itu hadir untuk memenuhi undangan Tim Penggerak PKK (TP PKK) Kabupaten Wonogiri yang menggelar sarasehan bertajuk momong cerdas bagi Orang tua dengan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) se-Kabupaten Wonogiri.
Selain 100 orangtua ABK, hadir pula kepala dinas sosial kabupaten Wonogiri, 25 istri camat se-Kabupaten Wonogiri, para tenaga kerja sosial kecamatan (TKSK), serta pengurus dan anggota PKK.  Ini adalah kali pertama sarasehan bagi orang tua ABK se-Kabupaten Wonogiri digelar, bekerja sama dengan Kelompok Perspektif  Yogyakarta.
Kepada hadirin, Ketua TP PKK Kabupaten Wonogiri, Verawati Joko Sutopo, menekankan kepada seluruh orang tua dengan ABK agar mereka bangga pada anak-anaknya dan tidak perlu malu. Sarasehan digelar, kata Verawati, bukan untuk membongkar aib keluarga. “Melainkan agar para orangtua dengan ABK di Wonogiri terbuka, mau belajar, saling bertukar pikiran dan pengalaman, serta paham kondisi anak-anaknya agar dapat memenuhi kebutuhannya,” tutur istri Bupati Wonogiri, Joko Sutopo itu.
Verawati mengimbau, “Mari mendampingi (momong) anak-anak kita dengan cara cerdas, menyayangi anak-anak kita, bukan mengasihani. Rasa kasihan kita justru akan mengambil hak-hak mereka, hak mereka untuk menjadi mandiri, menjadi dirinya sendiri, juga dalam mengembangkan potensi,” ujarnya. Menurut Vera, lain anak pasti lain pula masalahnya, kebutuhan, serta pendampingannya. Demikian pula bagi orang tua dengan anak difabel, dengan kondisi berbeda jenis difabelnya tentu berbeda pula kebutuhan dan cara mendampingi.  “Jadilah mata bagi mereka yang buta, menjadi telinga bagi mereka yang tuli, menjadi kaki bagi mereka yang idak mampu berjalan, demi untuk menyiapkan masa depan anak-anak istimewa. Mari menjadi tahu apa yang dibutuhkan anak-anak kita. Berjalan sedikit di depan, untuk menyajikan informasi bagi mereka. Menawarkan pilihan-pilahan, yang dapat dilakukan anak kita sesuai dengan kemampuannya. Itu yang semestinya dilakukan oleh orangtua,” ujar Verawati Joko Sutopo, Ketua TP PKK Wonogiri itu.
Harapan baru
Ratusan orangtua ABK yang datang dari berbagai penjuru Kabupaten Wonogiri, itu mengaku senang dan lega dengan diadakannya sarasehan tersebut. Mereka merasa memiliki harapan, karena kini ada memperhatikan mereka.
Seorang ibu, Siti Muslimah, pensiunan guru SD yang memiliki tiga anak, dua di antaranya difabel, bertutur tentang kedua anaknya yang difabel. Dia bercerita tentang putrinya yang mengalami depresi akibat pelecehan seksual saat belajar di sebuah pusat pelatihan di Temanggung. Dikisahkan pula tentang putra sulungnya yang kemampuan intelektualnya berangsur menurun karena mengonsumsi obat-obatan selama bertahun-tahun, juga karena depresi. Siti Muslimah berharap, dia mendapatkan solusi atas permasalahan yang dihadapi dalam membersamai kedua anaknya yang difabel yang kini berusia lebih dari 30 tahun, namun belum juga mandiri.
Menanggapi hal tersebut Ketua TP PKK Wonogiri, Verawati, berjanji akan menindaklanjuti harapan dan keinginan orang tua dengan ABK yang disampaikan melalui sarasehan tersebut. Untuk itu diagendakan pertemuan lanjutan sebagai langkah konkret untuk mewujudkan rencana tindakan.
Kesatuan jiwa utuh
Pada bagian lain, Ketua Perspektif Yogyakarta, Sri Hartaningsih, memaparkan pentingnya melihat difabel sebagai satu kesatuan jiwa yang utuh. Difabel memiliki hak yang sama dengan orang pada umumnya. Dengan cara tersebut, diharapkan hak-hak difabel dapat dilihat setara dengan non difabel. Baik dalam pendidikan, kesehatan, pekerjaan, berolahraga, berwisata, perlindungan hukum dan hak-hak lainnya.
Di hadapan ratusan hadirin, Sri Hartaningsih menyuguhkan slide yang menjelaskan tentang anak-anak difabel dan orang tua mereka yang tergabung dalam Kelompok Perspektif Yogyakarta saling bekerja sama dalam berkegiatan. Berkesenian, sebagai cara untuk membangun mental, mandiri sekaligus terapi. Dijelaskan pula tentang kesempatan yang diberikan oleh kelompok Perspektif, difabel yang mengoptimalkan kesempatan dengan dukungan orang tua. Dengan kesempatan dan dukungan telah mengantarkan anak-anak difabel anggota Perspektif menjadi percaya diri, berani, kreatif dan inovatif.
Menggeser paradigma
Sri Hartaningsih menekankan agar cara pandang negatif yang berkembang di tengah masyarakat, bahwa difabel adalah orang yang tidak mampu, aib bagi keluarga, beban, najis, bahkan kutukan, kini harus segera digeser. Bahkan pandangan itu harus dihilangkan dari tataran kehidupan sosial.  Pandangan negatif tersebut membatasi, juga menghilangkan kesempatan bagi difabel dalam bersosialisasi. Tak jarang karena keluarga merasa malu, difabel itu disembunyikan dan hak-hak hidup mereka dipasung.  “Difabel sama seperti yang lainnya, mampu melakukan apa saja. Pengakuan dari orangtua, kesempatan, dukungan, dan aksesibilitas sesuai dengan kebutuhan yang akan mengantarkan mereka mampu untuk melakukan apa saja,” tuturnya. Keterlibatan semua pihak, yakni keluarga, masyarakat, dan kehadiran negara sangat dibutuhkan. Solusi atas permasalahan dan pemenuhan hak-hak difabel tentu bukan hanya  menjadi wewenang Dinas Sosial, namun juga organisasi perangkat daerah (OPD) lainnya. Mengapa? Karena hak difabel sama dengan hak manusia pada umumnya. Namun karena keterbatasan yang menyertainya, difabel membutuhkan alat bantu dalam mengakses layanan publik. Mereka membutuhkan aksesibilitas baik fisik maupun non fisik yang aksesibel.
Hartaningsih juga menggaris-bawahi,  orang tua dan masyarakat perlu mengubah paradigma atau cara pandang mengenai anak difabel.  “Difabel bukan orang yang tidak mampu, bukan juga beban. Menjadi tidak mampu dan menjadi beban, ketika mereka hanya dikasihani dan tidak diberi kesempatan,” ujar dia.
Demi memberi semangat peserta sarasehan, dipaparkan pula kisah tentang Nick Vujicic, seorang difabel tanpa lengan dan tanpa kaki, asal Australia, yang berhasil menjadi seorang motivator dan meraih pendidikan tinggi. Nick mampu memiliki kehidupan layaknya orang pada umumnya untuk melakukan segalanya.
Peserta sarasehan disuguhi tayangan video tentang Nick Vujicic dengan tujuan untuk meyakinkan para orang tua bahwa difabel mampu melakukan apa pun. Setiap keberhasilan yang diraih adalah hasil usaha keras masing-masing pribadi. Hal tersebut tidak terlepas dari upaya orang tua dalam mendampingi anak-anaknya.  “Bersyukur atas apa yang dimiliki,  tidak perlu melihat apa yang orang lain miliki. Lakukan yang terbaik sesuai dengan kemampuan, optimalkan apa yang telah Tuhan berikan. Selamat momong cerdas, mengantarkan anak-anak difabel menjadi anak yang mandiri,” tutur Ketua Perspektif Yogyakarta itu.  (awd)


0 komentar:

Posting Komentar