Latest Post
Loading...

Senin, 02 Januari 2017

Malioboro Dipoles, Bagaimana Difabel Mengakses?

JALAN Malioboro agaknya tak pernah usai dipersoalkan, dibicarakan, termasuk juga dibangun secara fisik. Sepotong jalan di tengah kota itu, memang sudah kadung menjadi landmark Yogyakarta. Apapun yang terjadi di sana, pasti membetot perhatian khalayak.

Kamis (22/12/16) sore lalu, misalnya. Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X meresmikan kawasan Pedestrian Malioboro. Guiding block (jalan pemandu) bagi kaum difabel netra, sepanjang 910 meter, melengkapi kawasan itu.

 Selain guiding block, ramp (jalan miring) bagi pengguna kursi roda disediakan di sepanjang trotoar kawasan pedestrian Malioboro tersebut. Disediakan pula kursi-kursi, tempat sampah, lampu, air bersih siap minum di dua titik, bola pembatas, dan berbagai fasilitas lain. Pohon asam jawa, gayam, soka, dan berbagai jenis tanaman lain juga ditanam di sana.


Secara kasat mata, kawasan pedestrian Malioboro telah mengakomodir kebutuhan masyarakat Yogyakarta yang beragam, tanpa terkecuali masyarakat berkebutuhan khusus dalam hal ini difabel. Memang, bagi kaum awam, kawasan Malioboro kini terasa lebih nyaman, karena ditata dengan gaya modern, dilengkapi aneka fasilitas, lebih aman dan dan ramah lingkungan.  Namun ternyata, hal tersebut tidak begitu saja dapat dinikmati oleh masyarakat difabel. Aksesibilitas fisik berupa guiding block dan ramp tidak cukup membantu mereka untuk menikmati kawasan Malioboro.

Tak kenal
Tujuh orang difabel yang ditemui penulis, pada acara peresmian kawasan pedestrian Malioboro itu, memberi komentar. Dua orang pengguna kursi roda, seorang low vision, seorang pengguna krug, dua  orang tuli dan seorang tottaly blind (buta total).

Pada kesempatan tersebut, Ajiwan Arief Hendradi seorang difabel low vision dan Ida Ayu Putu Sudhiartini pengguna kursi roda mengatakan, kawasan pedestrian Malioboro memang lebih tertata dengan baik, modern, tersedia aksesibilitas fisik ramp dan guiding block. Namun, bagi Ajiwan, guiding block yang ada tidak cukup membantu dirinya. Dia yang low vison tidak cukup dapat mengenali guiding block karena warna guiding block yang tidak seperti umumnya berwarna kuning. Guiding block di kawasan pedestrian Malioboro berwarna abu-abu sewarna dengan lantai, sehingga bagi difabel low vision tidak cukup membantu. “Tadinya saya pikir itu penutup selokan, ternyata guiding block,” ujar Ajiwan.

Ia berharap agar pada pembangunan kawasan pedestrian tahab selanjutnya, warna guiding block dikembalikan sebagaimana umumnya (standar), yaitu berwara kuning. Masih menurut Ajiwan, dia juga memberikan masukan adanya penanda berupa tulisan braille atau suara yang dapat menunjukkan lokasi pertokoan di Malioboro. “Perlu ditambahkan tanda, berupa tulisan braille atau suara yang menunjukkan nama lokasi. Dengan adanya penanda, akan memudahkan ketika difabel netra hendak menuju dari satu toko ke toko lain, atau dari lokasi stu ke lokasi lain,” ujarnya.  

Pada saat berjalan kaki dari arah Kepatihan menuju halaman gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mengajukan pertanyaan pada salah seorang difabel pengguna kursi roda, Ida Ayu Putu Sudhiartini. “Bagaimana setelah seperti ini, bagi pemakai kursi roda sudah nyaman atau masih ada kekurangannya?” Sri Sultan bertanya.  “Lebih enak dan nyaman, Pak,” jawab Ida. “Tapi untuk ramp penghubung antara gang menuju trotoar masih kurang landai. Saya dengan kursi roda belum bisa mengaksesnya sendiri, masih butuh orang lain untuk mendororong atau mengerem kursi roda,” tambah Ida yang berharap agar pembangunan pedestrian tahap selanjutnya akan lebih baik lagi. Sehingga aksesibilitas yang ada benar-benar dapat difungsikan dan memandirikan difabel yang menikmati kaawasan pedestrian Malioboro.

Terbuka kritik
Bagi Sri Sultan masukan maupun kritikan dalam rangka memperbaiki serta menata kawasan Malioboro menjadi lebih baik, sesuai keinginan bersama, sangat diapresiasi dan akan ditindaklanjuti dalam pembangunan tahab selanjutnya. Sultan tak ingin proses pembangunan yang dilakukan di kawasan Malioboro berjalan tanpa adanya keterlibatan semua masyarakat. "Harapan saya, semua warga masyarakat Yogja tanpa kecuali difabel,  termasuk wisatawan yang datang ke Malioboro, dapat mengkritisi, memberikan masukan serta ide mengenai apa saja yang kurang agar bisa disampaikan, karena kita masih punya ruang untuk memperbaiki. Jangan sampai setelah semua jadi baru dikritisi. Ini agar hasilnya baik," katanya. (SHS)


0 komentar:

Posting Komentar