JALAN Malioboro agaknya tak pernah usai dipersoalkan,
dibicarakan, termasuk juga dibangun secara fisik. Sepotong jalan di tengah kota
itu, memang sudah kadung menjadi landmark Yogyakarta. Apapun yang terjadi
di sana, pasti membetot perhatian khalayak.
Kamis (22/12/16) sore lalu, misalnya. Gubernur DIY Sri
Sultan Hamengku Buwono X meresmikan kawasan Pedestrian Malioboro. Guiding block (jalan pemandu) bagi kaum
difabel netra, sepanjang 910 meter, melengkapi kawasan itu.
Selain guiding block, ramp (jalan miring) bagi
pengguna kursi roda disediakan di sepanjang trotoar kawasan pedestrian
Malioboro tersebut. Disediakan pula kursi-kursi, tempat sampah, lampu, air
bersih siap minum di dua titik, bola pembatas, dan berbagai fasilitas lain. Pohon
asam jawa, gayam, soka, dan berbagai jenis tanaman lain juga ditanam di sana.
Secara
kasat mata, kawasan pedestrian Malioboro telah mengakomodir kebutuhan masyarakat
Yogyakarta yang beragam, tanpa terkecuali masyarakat berkebutuhan khusus dalam
hal ini difabel. Memang, bagi kaum awam, kawasan Malioboro kini terasa lebih
nyaman, karena ditata dengan gaya modern, dilengkapi aneka fasilitas, lebih
aman dan dan ramah lingkungan. Namun ternyata,
hal tersebut tidak begitu saja dapat dinikmati oleh masyarakat difabel. Aksesibilitas
fisik berupa guiding block dan ramp tidak cukup membantu mereka untuk menikmati
kawasan Malioboro.
Tak kenal
Tujuh orang difabel yang ditemui penulis, pada acara
peresmian kawasan pedestrian Malioboro itu, memberi komentar. Dua orang
pengguna kursi roda, seorang low vision,
seorang pengguna krug, dua orang tuli dan seorang tottaly blind (buta total).
Pada kesempatan tersebut, Ajiwan Arief Hendradi
seorang difabel low vision dan Ida
Ayu Putu Sudhiartini pengguna kursi roda mengatakan, kawasan pedestrian
Malioboro memang lebih tertata dengan baik, modern, tersedia aksesibilitas
fisik ramp dan guiding block. Namun, bagi Ajiwan, guiding block yang ada tidak cukup membantu dirinya. Dia yang low vison tidak cukup dapat mengenali guiding block karena warna guiding block yang tidak seperti umumnya
berwarna kuning. Guiding block di
kawasan pedestrian Malioboro berwarna abu-abu sewarna dengan lantai, sehingga
bagi difabel low vision tidak cukup
membantu. “Tadinya saya pikir itu penutup selokan, ternyata guiding block,” ujar Ajiwan.
Ia berharap agar pada pembangunan kawasan pedestrian
tahab selanjutnya, warna guiding block
dikembalikan sebagaimana umumnya (standar), yaitu berwara kuning. Masih menurut
Ajiwan, dia juga memberikan masukan adanya penanda berupa tulisan braille atau suara yang dapat
menunjukkan lokasi pertokoan di Malioboro. “Perlu ditambahkan tanda, berupa
tulisan braille atau suara yang
menunjukkan nama lokasi. Dengan adanya penanda, akan memudahkan ketika difabel
netra hendak menuju dari satu toko ke toko lain, atau dari lokasi stu ke lokasi
lain,” ujarnya.
Pada saat berjalan kaki dari arah Kepatihan menuju
halaman gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY, Gubernur DIY Sri
Sultan Hamengku Buwono X mengajukan pertanyaan pada salah seorang difabel pengguna
kursi roda, Ida Ayu Putu Sudhiartini. “Bagaimana setelah seperti ini, bagi
pemakai kursi roda sudah nyaman atau masih ada kekurangannya?” Sri Sultan
bertanya. “Lebih enak dan nyaman, Pak,”
jawab Ida. “Tapi untuk ramp penghubung
antara gang menuju trotoar masih kurang landai. Saya dengan kursi roda belum
bisa mengaksesnya sendiri, masih butuh orang lain untuk mendororong atau
mengerem kursi roda,” tambah Ida yang berharap agar pembangunan pedestrian
tahap selanjutnya akan lebih baik lagi. Sehingga aksesibilitas yang ada
benar-benar dapat difungsikan dan memandirikan difabel yang menikmati kaawasan
pedestrian Malioboro.
Terbuka kritik
Bagi Sri Sultan masukan maupun
kritikan dalam rangka memperbaiki serta menata kawasan Malioboro menjadi lebih
baik, sesuai keinginan bersama, sangat diapresiasi dan akan ditindaklanjuti
dalam pembangunan tahab selanjutnya. Sultan tak ingin proses pembangunan yang
dilakukan di kawasan Malioboro berjalan tanpa adanya keterlibatan semua
masyarakat. "Harapan saya, semua warga masyarakat Yogja tanpa kecuali
difabel, termasuk wisatawan yang datang ke Malioboro, dapat mengkritisi,
memberikan masukan serta ide mengenai apa saja yang kurang agar bisa
disampaikan, karena kita masih punya ruang untuk memperbaiki. Jangan sampai
setelah semua jadi baru dikritisi. Ini agar hasilnya baik," katanya. (SHS)
0 komentar:
Posting Komentar