Latest Post
Loading...

Senin, 02 Januari 2017

Hukum bagi Difabel: Lain Amerika, Lain Pula Indonesia


SUDAHKAH hukum di Indonesia berpihak, berlaku setara bagi difabel? Pertanyaan itu tentu akan melahirkan banyak jawab, bergantung pada situasi dan kondisi penyebabnya. Berbeda dengan Amerika Serikat. Di negara itu, penyandang disabilitas (difabel) baik fisik maupun mental, memiliki status yang sama di hadapan hukum dengan masyarakat non difabel. Kekurangan yang menyertai tidak dijadikan alasan untuk menempatkan difabel sebagai warga kelas dua.

Menurut DR. Sandy A. Folker, narasumber pada diskusi tematik di Kantor SAPDA, Jalan Madubronto No. 25 Yogyakarta, Selasa (20/12/16) lalu, di Amerika difabel mental intelektual dapat menjadi saksi di pengadilan. Dia hanya butuh waktu, ruang dan kesempatan untuk memahami seluk beluk peradilan, mengenal aparat penegak hukum dan tugas-tugasnya.  


“Mereka membutuhkan waktu antara dua hingga satu bulan untuk memahami seluk beluk peradilan, hingga pada akhirnya mampu bersaksi. Hanya perlu diberi waktu, ruang dan kesempatan memahami tugas dan jabatan aparat penegak hukum di pengadilan,” jelas Sandy, doktor dalam bidang Psikologi Klinis dan Keragaman yang bekerja di Rumah Sakit Jiwa San Fransisco, Amerika Serikat, dan berpengalaman selama 10 tahun mendampingi saksi disabilitas mental intelektual di pengadilan.
“Selama mereka memenuhi syarat, maka mereka memiliki hak yang sama dengan non difabel. Hal tersebut juga berlaku sama dalam hal pekerjaan maupun pendidikan,” lanjutnya.

Menurut Sandy, Amerika memiliki Americans with Disabilities Act of 1990 (ADDA 1990), yang diamandemen pada tahun 2008 menjadi ADA Amandement Act of 2008 (ADAAA 2008). Sebuah Undang-undang yang menjadi landasan hukum bagi penyandang disabilitas untuk tidak didiskriminasi karena kekurangan mereka. ADDA disebut sebagai perluasan dari Civil Rights Act of 1964 yang menjamin kesetaraan semua warga negara, tidak boleh didiskriminasi karena alasan apapun juga. 

Akses dan fasilitas diberikan bagi difabel sesuai dengan kebutuhannya. Assesment diberlakukan, sehingga akses, layanan dan fasilitas yang diberikan bagi difabel berhadapan dengan hukum disesuaikan sebagaimana assesment yang diperoleh.
Kondisi tersebut berbeda dengan sistem peradilan di Indonesia. Di mana sebagian besar kasus hukum yang menimpa difabel tidak mendapatkan penyelesaian sebagaimana mestinya.
Peradilan di Indonesia
Bagaimana dengan Indonesia? Hukum di Indonesia masih memandang difabel sebagai orang yang tidak mampu. Kesaksian difabel disanksikan bahkan diabaikan.

Menilik kasus yang berhasil dihimpun oleh CIQAL, tentang sangat minimnya kasus penegakan hukum bagi difabel sebagaimana diberitakan sebelumnya dalam link http://perspektifnews.blogspot.co.id/2016/11/ciqal-desak-pemerintah-segera-sahkan.html,  merupakan potret buram kasus difabel berhadapan dengan hukum di Indonesia, lebih tepatnya di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Diskriminasi
Hambatan-hambatan yang menyertai difabel sangat kompleks, antara lain aksesibilitas fisik (ramp, guiding block, informasi braile, video dan audio,  lift), dan aksesibilitas non fisik (penerjemah, etika berinteraksi,) serta prosedur peradilan bagi difabel berhadapan dengan hukum, belum terfasilitasi.
Kondisi tersebut berakibat pada difabel, baik sebagai korban, maupun sebagai saksi, berujung pada diskriminasi dan pelanggaran hak atas peradilan yang jujur dan transparan.

Indonesia memiliki berbagai peraturan yang melindungi hak asasi manusia, diantaranya:  UUD 1945, juga UU No. 19 Tahun 2011 tentang Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas atau (United Nations Convention on the Rights of Persons with Disabilitas/UNCRPD). Namun, keberadaan peraturan-peraturan tersebut tidak cukup menjamin perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak-hak difabel berhadapan dengan hukum.

UNCRPD menetapkan hak-hak difabel secara luas yaitu setiap penyandang disabilitas harus bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena, serta memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang lain. CRPD juga menetapkan kewajiban umum setiap negara peserta di samping kewajiban-kewajiban lain yang ditetapkan secara eksplisit dan rinci.


Idealnya memang, Indonesia belajar dari Amerika Serikat yang telah memiliki apresiasi positif terhadap difabel. Meskipun sampai saat ini Amerika belum merativikasi konvensi Hak-hak Difabel (UNCRPD) tetapi pemenuhan hak-hak difabel di Amerika Serikat justru lebih baik ketimbang Indonesia. (SHS)

0 komentar:

Posting Komentar