SUDAHKAH hukum di Indonesia berpihak, berlaku
setara bagi difabel? Pertanyaan itu tentu akan melahirkan banyak jawab,
bergantung pada situasi dan kondisi penyebabnya. Berbeda dengan Amerika Serikat.
Di negara itu, penyandang disabilitas (difabel) baik fisik maupun mental,
memiliki status yang sama di hadapan hukum dengan masyarakat non difabel.
Kekurangan yang menyertai tidak dijadikan alasan untuk menempatkan difabel
sebagai warga kelas dua.
Menurut
DR. Sandy A. Folker, narasumber pada diskusi tematik di Kantor SAPDA, Jalan Madubronto
No. 25 Yogyakarta, Selasa (20/12/16) lalu, di Amerika difabel mental
intelektual dapat menjadi saksi di pengadilan. Dia hanya butuh waktu, ruang dan
kesempatan untuk memahami seluk beluk peradilan, mengenal aparat penegak hukum
dan tugas-tugasnya.
“Mereka
membutuhkan waktu antara dua hingga satu bulan untuk memahami seluk beluk
peradilan, hingga pada akhirnya mampu bersaksi. Hanya perlu diberi waktu, ruang
dan kesempatan memahami tugas dan jabatan aparat penegak hukum di pengadilan,”
jelas Sandy, doktor dalam bidang Psikologi Klinis dan Keragaman yang bekerja di
Rumah Sakit Jiwa San Fransisco, Amerika Serikat, dan berpengalaman selama 10
tahun mendampingi saksi disabilitas mental intelektual di pengadilan.
“Selama mereka memenuhi syarat, maka
mereka memiliki hak yang sama dengan non difabel. Hal tersebut juga berlaku
sama dalam hal pekerjaan maupun pendidikan,” lanjutnya.
Menurut Sandy, Amerika memiliki Americans with Disabilities Act of 1990
(ADDA 1990), yang diamandemen pada tahun 2008 menjadi ADA Amandement Act of 2008 (ADAAA 2008). Sebuah Undang-undang yang
menjadi landasan hukum bagi penyandang disabilitas untuk tidak didiskriminasi
karena kekurangan mereka. ADDA disebut sebagai perluasan dari Civil Rights Act of 1964 yang menjamin kesetaraan semua warga
negara, tidak boleh didiskriminasi karena alasan apapun juga.
Akses dan fasilitas diberikan bagi difabel
sesuai dengan kebutuhannya. Assesment
diberlakukan, sehingga akses, layanan dan fasilitas yang diberikan bagi difabel
berhadapan dengan hukum disesuaikan sebagaimana assesment yang diperoleh.
Kondisi
tersebut berbeda dengan sistem peradilan di Indonesia. Di mana sebagian besar
kasus hukum yang menimpa difabel tidak mendapatkan penyelesaian sebagaimana
mestinya.
Peradilan di Indonesia
Bagaimana
dengan Indonesia? Hukum di Indonesia masih memandang difabel sebagai orang yang
tidak mampu. Kesaksian difabel disanksikan bahkan diabaikan.
Menilik kasus yang
berhasil dihimpun oleh CIQAL, tentang sangat minimnya kasus penegakan hukum
bagi difabel sebagaimana diberitakan sebelumnya dalam link http://perspektifnews.blogspot.co.id/2016/11/ciqal-desak-pemerintah-segera-sahkan.html,
merupakan potret buram kasus difabel
berhadapan dengan hukum di Indonesia, lebih tepatnya di Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Diskriminasi
Hambatan-hambatan yang
menyertai difabel sangat kompleks, antara lain aksesibilitas fisik (ramp, guiding block, informasi braile,
video dan audio, lift), dan aksesibilitas
non fisik (penerjemah, etika berinteraksi,) serta prosedur peradilan bagi difabel
berhadapan dengan hukum, belum terfasilitasi.
Kondisi tersebut berakibat
pada difabel, baik sebagai korban, maupun sebagai saksi, berujung pada
diskriminasi dan pelanggaran hak atas peradilan yang jujur dan transparan.
Indonesia memiliki
berbagai peraturan yang melindungi hak asasi manusia, diantaranya: UUD 1945, juga UU No. 19 Tahun 2011 tentang
Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas atau (United Nations Convention on the Rights of
Persons with Disabilitas/UNCRPD).
Namun, keberadaan peraturan-peraturan tersebut tidak cukup menjamin
perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak-hak difabel berhadapan dengan
hukum.
UNCRPD menetapkan hak-hak difabel secara
luas yaitu setiap penyandang disabilitas harus bebas dari penyiksaan atau
perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, bebas dari
eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena, serta memiliki hak untuk
mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan
kesamaan dengan orang lain. CRPD juga menetapkan kewajiban umum setiap negara
peserta di samping kewajiban-kewajiban lain yang ditetapkan secara eksplisit
dan rinci.
Idealnya
memang, Indonesia belajar dari Amerika Serikat yang telah memiliki apresiasi
positif terhadap difabel. Meskipun sampai saat ini Amerika belum merativikasi
konvensi Hak-hak Difabel (UNCRPD) tetapi pemenuhan hak-hak difabel di Amerika
Serikat justru lebih baik ketimbang Indonesia. (SHS)
0 komentar:
Posting Komentar